Malam ini Admin akan memberikan Artikel kepada temen-temen mengenai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (SPEI) untuk Materi Kuliah Semester 2 nanti. Di dalam Artikel terdapat banyak sekali pengetahuan yang harus kita ketahui tentang Para Pemikir-Pemikir Ekonomi Islam pada masa lampau. Tanpa adanya Beliau, maka tak akan ada pula teori yang mengkaji dalam Ekonomi Agama Islam untuk masyarakat Islam secara keseluruhan.
Baiklah, langsung saja. Baca selengkapnya artikel di bawah ini mengenai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (SPEI).
Perjalanan sejarah mengarahkan kepada kita untuk mengetahui bahwa ekonomi
Islam telah mengalami kehilangan pengakuan selama masa kemunduran hingga masa
modernis. Hingga tiba saatnya terjadi upaya pengakuan kembali, setelah adanya
pernyataan para kaum cendekiawan bahwa konsep rumusan ekonomi Islam yang telah
digagas para ulama’ masa keemasan ketika Islam mengalami zaman kemunduran telah
dilakukan tindak plagiatisme terhadap banyak segi keilmuannya. Menurut Chapra ,
meskipun sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak
mengartikulasikan secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki
andil dalam hal ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas
kontribusi peradaban lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Kontribusi kaum muslimin yang sangat besar terhadap kelangsungan dan
perkembangan pemikiran ekonomi pada khususnya dan peradaban dunia pada umumnya,
telah diabaikan oleh para ilmuwan Barat. Buku-buku teks ekonomi Barat hampir
tidak pernah menyebutkan peranan kaum muslimin ini. Menurut Chapra, meskipun
sebagian kesalahan terletak di tangan umat Islam karena tidak mengartikulasikan
secara memadai kontribusi kaum muslimin, namun Barat memiliki andil dalam hal
ini, karena tidak memberikan penghargaan yang layak atas kontribusi peradaban
lain bagi kemajuan pengetahuan manusia.
Para sejarahwan Barat telah menulis sejarah ekonomi dengan sebuah asumsi
bahwa periode antara Yunani dan Skolastik adalah steril dan tidak produktif.
Sebagai contoh, sejarahwan sekaligus ekonom terkemuka, Joseph Schumpeter, sama
sekali mengabaikan peranan kaum muslimin. Ia memulai penulisan sejarah
ekonominya dari para filosof Yunani dan langsung melakukan loncatan jauh selama
500 tahun, dikenal sebagai The Great Gap, ke zaman St. Thomas Aquinas
(1225-1274 M).
ISLAM
> ABAD VII M ABAD VII-ABAD XV M ABAD XV-1924M 1924-sekarang
-
Rasul 571 M
-
Rasul diutus 610 M
-
Rasul Hijroh 622 M
-
Rasul Wafat 632 M
-
Islam mengatur segala aspek kehidupan Masa Keemasan Islam (700-1400M)
Contoh para tokoh:
1. Al Khawarizm; ahli matemtika& astronomi
2. Al Farghoni; astronomi
3. Jabbir Ibn Hayan;kimia
4. Al Battani; Matematika Kemunduran Runtuhnya Khilafah Islamiyah
BARAT
-
ABAD V-XV M ABAD XV-XVI M ABAD XVI –sekarang
-
Abad pertengahan/ kegelapan
-
Gereja dan raja mengatur segala aspek kehidupan Modernisasi Sekularisme
(pemisahan agama dan kehidupan dunia)
Perjalan Sejarah Islam-Barat Dari
Abad Ke Abad
- Fase Pemikiran Ekonomi Islam
Adalah hal yang sangat sulit untuk dipahami mengapa para ilmuwan Barat tidak
menyadari bahwa sejarah pengetahuan merupakan suatu proses yang
berkesinambungan, yang dibangun di atas fondasi yang diletakkan para ilmuwan
generasi sebelumnya. Jika proses evolusi ini disadari dengan sepenuhnya,
menurut Chapra, Schumpeter mungkin tidak mengasumsikan adanya kesenjangan yang
besar selama 500 tahun, tetapi mencoba menemukan fondasi di atas mana para
ilmuwan Skolastik dan Barat mendirikan bangunan intelektual mereka.
Sejalan dengan ajaran Islam tentang pemberdayaan akal fikiran dengan tetap
berpegang teguh pada Alquran dan hadis Nabi, konsep dan teori ekonomi dalam
Islam pada hakikatnya merupakan respon para cendekiawan Muslim terhadap
berbagai tantangan ekonomi pada waktu-waktu tertentu. Ini juga berarti bahwa
pemikiran ekonomi Islam seusia Islam itu sendiri.
Berbagai praktek dan kebijakan ekonomi yang berlangsung pada masa Rasulullah
saw dan al-Khulafa al-Rasyidun merupakan contoh empiris yang dijadikan pijakan
bagi para cendekiawan Muslim dalam melahirkan teori-teori ekonominya. Satu hal
yang jelas, fokus perhatian mereka tertuju pada pemenuhan kebutuhan, keadilan,
efisiensi, pertumbuhan, dan kebebasan, yang tidak lain merupakan objek utama
yang menginspirasikan pemikiran ekonomi Islam sejak masa awal.
Berkenaan dengan hal tersebut, Siddiqi menguraikan sejarah pemikiran ekonomi
Islam dalam tiga fase, yaitu: fase dasar-dasar ekonomi Islam, fase kemajuan dan
fase stagnasi:
Pengelompokan Fase Perkembangan
Pemikiran Ekonomi Islam
Fase pertama merupakan fase abad
pertama hingga kelima Hijriyah (abad ke-11 Masehi). Pemikiran ekonomi dirintis
oleh para fuqaha, sufi dan filosof. Pemikiran fuqaha terfokus pada apa manfaat
(maslahah) sesuatu yang dianjurkan dan apa kerugian (mafsadah) bila
melaksanakan sesuatu yang dilarang agama, bersifat normatif berwawasan positif
dan cenderung mikroekonomi. Kontribusi para sufi terletak pada keajegannya
dalam mendorong kemitraan yang saling menguntungkan, tidak rakus dalam
memanfaatkan kesempatan yang diberikan Allah swt dan secara tetap menolak
penempatan tuntutan kekayaan dunia yang terlalu tinggi, bersifat normatif
berwawasan positif dan cenderung mikroekonomi. Fokus pembahasan filosof tertuju
pada konsep kebahagiaan (sa’adah) dalam arti luas, pendekatannya global dan
rasional serta metodologinya syarat dengan analisis ekonomi positif dan
cenderung makroekonomi. Beberapa tokoh fase pertama diantaranya :
1. Zaid bin Ali (w. 80 H/738 M) Keabsahan
jual beli secara tangguh dengan harga yang lebih tinggi daripada jual beli
secara tunai.
Menurutnya penjualan suatu barang secara kredit dengan harga yang lebih
tinggi daripada harga tunai merupakan salah saru berntuk transaksi yang sah dan
dapat debenarkan selama transaksi tersebut dilandasi oleh prinsip saling ridha
antara kedua belah pihak.
Kasus yang biasa terjadi adalah pembelian barang secara kredit atau transaksi
yang pembayarannya ditangguhkan. Dalam kasus ini harga yang lebih tinggi
ditentukan penjual (jika pembeli menangguhkan pembayaran dengan mencicil)
adalah sebagai kompensasi kepada penjual karena memberikan kemudahan kepada
pembeli dalam melakukan pembayaran.
2. Abu Hanifah (w. 150 H/767 M)
- Jual
beli salam & Pembelaan hak-hak ekonomi kaum lemah.
Pada masa hidunya, masyarakat sekitar banyak yang melakukan ransaksi salam,
yaitu menjual barang yang akan dikirimkan kemudian sedangkan pembayaran
dilakukan secara tunai pada waktu akad disepakati. Abu Hanifah orang yang
meragukan keabsahan akad tersebut yang dapat mengarah kepada perselisihan. Ia
lalu berusaha menghilangkan ketidakjelasan dalam ada salam dengan diharuskannya
merinci lebih khusus apa yang harus diketahui dan dinyatakan dengan jelas di
dalam akad, seperti jenis komoditi, mutu, dan kuantitas serta dan waktu dan
tempat pengiriman.
3. Abu Yusuf (w. 182 H/ 798 M)
- Keuangan
public dan Pembentukan dan pengendalian harga.
Hal yang paling dikenal dari Abu Yusuf tentang pemikirannya mengenai masalah
pengendalian harga (tas’ir). Ia menentang penguasa yang menerapkan harga,
argumennya didasarkan pada sunah Rasul. Abu Yusuf menyatakan hasil panen yang
melimpah bukan alasan untuk menurunkan harga panen, dan sebaliknya kelangkaan
tidak mengakibatkan harganya melambung. Pendapat Abu Yusuf ini merupakan hasil
observasi. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa ada kemungkinan kelebihan hasil
dapat berdampingan dengan harga yang tinggi dan kelangkaan dengan harga yang
renda. Namun, disisi lain, Abu Yusuf juga tidak menolak pernan permintaan dan
penawaran dalam penentuan harga.
4. Asy-Syaibani (w. 189 H/804 M)
- Konsep
kerja, Perilaku konsumen dan produsen dan Spesialisai dan distribusi pekerjaan.
Pandangan Al Syaibani mengenai ekonomi cenderung memperhatikan perilaku
ekonomi seorang muslim sebagai individu. Dalam risalahnya berjudul al-ikhtisab
fi ar-rizq al-mustahab banyak membahas mengenai pendaaptan dan belanja rumah
tangga. Di juga membagi jenis pekerjaan ke dalam 4 hal, yaitu ijaroh
(sewa-menyewa), tijaroh (perdagangan), zira’ah (pertanian), dan shina’ah
(industri).
5. Ibn Miskawaih (w. 421 H/1030 M)
Konsep
Uang
Salah satu pandangannya yang terkenal adalah mengenai pertukaran dan
perkaran uang. Untuk memenuhi kebutuhan, manusia harus bekerjasama dan saling
membantu sesame. Konsekuensinya, mereka akan menuntut suatu kompensasi yang
pantas.
Fase kedua dimulai pada abad
ke-11 sampai dengan ke-15 Masehi. Fase kedua dikenal sebagai fase yang
cemerlang karena meninggalkan warisan intelektual yang sangat kaya.
Realitas politik ditandai oleh dua hal, yakni:
a. Disintegrasi pusat kekuasaan Dinasti Abbasiyah dan terbaginya kerajaan ke
dalam beberapa kekuatan regional yang mayoritas didasarkan pada kekuatan
daripada kehendak rakyat
b. Merebaknya korupsi di kalangan para penguasa diiringi dengan dekadensi moral
di kalangan masyarakat yang mengakibatkan terjadinya ketimpangan yang semakin
lebar antara si kaya dengan si miskin
Pada fase ini wilayah kekuasaan Islam yang terbentang dari Barat sampai Timur
melahirkan berbagai pusat kegiatan intelektual. Beberapa tokoh fase pertama diantaranya:
1. Al-Ghazali (w. 505 H/1111 M) -
Perilaku konsumen, Evolusi pasar, Konsep Uang, dan Pajak.
Fokus utama Al Ghazali tertuju pada perlaku individual yang dibahas secara
rinci dengan menunjuk pada Al Quran, sunna, ijma’ sahabat dan tabi’in serta
pandangan sufi. Menurutnya, seseorang harus memenuhi seluruh kebutuhan hidupnya
dalam kernagka melaksanakan kewajiban beribadah kepada Allah. Ia juga
mengemukakan alasan pelarangan riba fadhl, yakni karena melanggar sifat dan fungsi
uang serta mengutuk mereka yang melakukan penimbunan uang dengan dasar uang itu
sendiri dibuat untuk memudahkan pertukaran.
2. Ibnu Taimiyah (w. 728 H/1328 M) -
Konsep Harga, Hisbah, Keuangan Negara, dan Konsep Uang.
Fokus perhatian Ibnu Taimiyah terletak pada masyarakat, fondasi moral, dan
bagaimana mereka harus membawakan dirinya sesuai dengan syariah. Secara umum,
pandangan-pandangan ekonomi Ibnu Taimiyah cenderung bersifat normatif. Namun
demikian, terdapat beberapa wawasan ekonominya yang dapat dikatergorikan
sebagai pandangan ekonomi positif. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah menyadari
sepenuhnya permintaan dan penawaran dalam menentukan harga. Ia juga mencatat
pengaruh dari pajak tidak langsung dan bagaimana beban pajak tersebut
digeserkan dari penjual yang seharusnya menanggung pajak kepada pembeli yang
harus membayar lebih mahal untuk barang-barang yang terkena pajak.
3. Ibnu Khaldun (w. 808 H/1406 M)
-
Keuangan public, Konsep harga, Konsep uang, dan Teori produksi.
4. Al-Maqrizi (w. 845 H/1441 M)
- Konsep
Uang, dan Teori inflasi.
Al Maqrizi melakukan studi khusus tentang uang dari kenaikan harga-harga
yang terjadi secara periodic dalam keadaan kelaparan dan kekeringan. Menurut Al
Maqrizi, kelangkaan pangan selain disebabkan karena sebab alami oleh kegagalan
hujan juga disebabkan hal lain. Al Maqrizi mengidentifikasi tiga sebab dari
peristiwa ini, yaitu korupsi dan administrasi yang buruk, beban pajak yang
berat terhdap penggarap dan kenaikan pasokan mata uang fulus.
Fase ketiga dimulai pada tahun
1446 hingga 1932 Masehi.. Fase kedua dikenal sebagai fase tertutupnya pintu
ijtihad (independent judgment). Para fukaha hanya menuliskan kembali
catatan-catatan para pendahulunya dan mengeluarkan fatwa yang sesuai dengan
aturan standar bagi masing-masing mazhab. Gerakan pembaharu baru timbul pada
dua abad terakhir yang menyeru untuk kembali kepada Alquran dan al-Hadis
sebagai pedoman hidup. Tokoh-tokoh fase ketiga ini diantaranya:
1. shah waliallah (w.1176H/1762M)
2. Jamaluddin al Afhgani (w.1315H/1897M)
3. Muhammad Abduh (w.1320H/1905M)
4. Muhammad Iqbal (w.1357 H/1938M)
Kemunculan Pemikiran dan Mazhab Ekonomi Islam Modern
Pada era modernis, ekonomi Islam mulai dirajut kembali untuk dimunculkan
sebagai sebuah konsep ilmu teoritis maupun aplikatif. Pembagian mazhab alur
pemikiran Ekonomi Islam muncul dalam tiga mazhab. Mazhab Baqir As Sadr,
Mainstream, dan alternatif Kritis. Hal yang melatarbelakangi pembagian ketiga
mazhab ini adalah adanya perbedaan pendapat akan adanya konsep apa dan bagaimana
ekonomi Islam. Akan tetapi, belum secara pasti dapat dibuktikan bahwa aplikasi
konsep dan teori ekonomi Islam di masyarakat saat ini adalah sudah cukup
dinaungi oleh ketiga mazhab tersebut diatas.
Dalam bahasan ekonomi Islam modern, Sudarsono (2008) membagi fase
perkembangan ekonomi Islam modernis dalam dua bagian . Fase pertama (sebelum
1970-an) kebanyakan sarjana ekonomi Islam lebih condong pada pewacanaan
pendekatan normatif dan teknis kelembagaan. Sedangkan, fase kedua (1980)
sarjana muslim lebih memfokuskan diri pada usaha merumuskan aspek filosofis dan
metodologi ekonomi Islam.
Upaya pemunculan kembali ekonomi Islam ditengah masyarakat dunia dengan tawaran
konseptual keilmuan dan sistem ekonomi yang seolah nampak baru mulai diupayakan
secara masif semenjak abad modernis, khususnya seperti halnya yang telah
terjadi di Indonesia, ekonomi Islam telah terasa masif semenjak munculnya
kegiatan perbankan syariah di Indonesia yang dipelopori oleh Bank Muamalat
Indonesia.
Dalam perkembangannya ekonom-ekonom muslim tidak menghadapi masalah
perbedaan pendapat yang berarti. Namun ketika mereka diminta untuk menjelaskan
apa dan bagaimanakah konsep ekonomi Islam itu, mulai muncullah perbedaqaan
pendapat. Sampai saat ini, pemikiran ekonom-ekonom muslim kontemporer dapat
kita klasifikasikan setidaknya menjadi tiga mazhab, yakni:
• Mazhab Baqir as-Sadr, Baqr As Shadr
• Mazhab mainstream; Umar Chapra, As Siddiqi, etc.
• Mazhab Alternatif-kritis
Masing-masing dari ketiga mazhab diatas telah memiliki ciri menonjol yang bisa
saling berkonfrontasi, sepertihalnya mainstream yang terlihat paling moderat
karena sikapnya terhadap teori ekonomi konvensional yang tidak semata-mata
dihapus, melainkan dipilah berdasarkan prinsip metodologi teori ekonomi Islam
jika didapatkan sesuatu yang tidak salah dan dibolehkan atau dibenarkan maka
hal itu dilaksanakan, dan apabila ada yang salah maka hal itu dihilangkan.
Begitu juga sikapnya terhadap permasalahan pangkal dari sebuah teori ekonomi
berupa scrachity (kelangkaan) yang titik tolaknya pada dasarnya sama, melainkan
lebih pada pola distribusinya. Hal ini berbeda sama sekali dengan As Shadr,
yang sampai tegasnya mazhab ini berpendapat bahwa jika, ingin dinamakan dengan
ekonomi Islam, seharusnya tidak perlu pakai istilah ekonomi melainkan dengan
istilah yang berubah total yakni iqtishoduna. Permasalahan ini, dikarenakan
mazhab as Sadhr tidak menyetujui jika, permasalahan ekonomi adalah sama dengan
konvensional yakni pada kelangkaan sumber daya. Sebab menurut mazhab ini, pada
dasarnya Allah telah menurunkan secara jelas ayat yang menegaskan bahwa sumber
daya yang ada itu pada dasarnya sudah cukup, tinggal bagaimana manusia
mengolahnya dan mendistribusikannya. Sedangkan mazhab kritis, lebih pada
analisa mendalam mengenai hasil temuan-temuan sistem ekonomi yang ada termasuk
ekonomi Islam untuk dikritisi kembali dan secara terus menerus.
Diantara ketiga mazhab ini, jika dikaji berdasarkan teori dialektika dan sebuah
kesatuan metodolgi bukanlah tiga teori yang sebenarnya layak untuk menimbulkan
klaim hingga pada akhirnya menimbulkan terjadi konflik dialektika teori yang
meruncing. Akan tetapi, dari ketiga mazhab ekonomi Islam ini, pada dasarnya
memiliki sebuah kesatuan dan mampu untuk saling mengisi satu sama lain yang
didasarkan dari peran teori yang diusung oleh masing-masing mazhab.
Sepertihalnya kekurangan pada mazhab mainstream yang cenderung mudah disalah
persepsikan sebagai ekonomi minus riba plus zakat dapat untuk kemudian
ditegaskan kembali oleh mazhab As Shadr dan dikoreksi secara terus menerus oleh
alternatif kritis.
Teori pada dasarnya akan mengalami evolusi melalui pelestarian, inovasi, dan
kepunahan, maka terdapat suatu proses evolusi dalam sejarah manusia. Proses ini
ditandai dengan dua kecenderungan, yakni adanya keanekaragaman dan kemajuan.
keanekaragaman mengacu kepada kenyataan bahwa jumlah dan aneka ragam masyarakat
sangat meningkat, dan pola-pola adaptasi manusia semakin lama semakin
berbeda-beda. Sementara kemajuan tidak mengacu kepada peningkatan kebahagiaan
atau moralitas tetapi kepada perkembangan teknologi dan kepada perubahan
organisasi dan ideologi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan teknologi.
Geliat Kemunculan Proptotipe Ekonomi Islam Modern, sebagai penutup
Keuangan Islam bukanlah temuan dari gerakan politik ekstrim Islam abad ini,
namun bersumber dari perintah yang ada dalam al Quran dan sunnah Nabi Muhammad.
Keyakinan-keyakinan pokok hukum Islam yang bersumber wahyu berkenaan dengan
urusan perdagangan ini merupakan bagian dari agama yang sama nilainya dengan
pernikahan. Hukum Islam telah mengambil serangkaian ketentuan yang saling
terkait dari kitab suci yang melarang pengambilan bunga dan praktek spekulasi
yang tidak wajar. Pada abad pertengahan, kedua praktek tersebut dianggap
sebagai perbuatan dosa sekaligus melanggar hukum, dan benar-benar dihindari.
Praktek keuangan dalam bentuk Islam yang berumur ratusan tahun tersebut sebagia
besar mengalami kemunduran selama kurun waktu kekaisaran kolonial Eropa, keitka
hampir seluruh dunia Islam berada di bawah kekuasaan Barat. Di bawah pengaruh
negara-negara Eropa, sebagain besar negara mengadopsi sistem perbankan dan
model perusahaan yang terilhami Barat serta meninggalkan praktek-praktek
perdagangan Islam. Dengan demikian, periode modern keuangan Islam dimulai
ketika negara-negara Islam mendapatkan kemerdekaan setelah Perang Dunia Kedua.
Lembaga Keuangan Islam paling awal tercatat adalah Mit Ghamr Project.
Lembaga ini didirikan di Mesir pada 1963 dan segerak diikuti oleh Nasser Social
Bank pada 1971. Tonggak sejarah berikutnya adalah pendirian, berdasarkan
Organisasi Konferensi Islam (OKI), The Multinational IDB PADA 1973. Selama
70-an banyak lembaga keuangan Islam didirikan di sejumlah negara-sebagian
merupakan lembaga pemerintahan, sebagain merupakan lembaga yang berbagi kepemilikan
antara pemerintah dengan swasta, dan sebagain lagi adalah lembaga swasta.
Gelombang jatidiri Islam yang lebih kuat telah memberikan dorongan positif
yang lain bagi penerapn prinsip-prinsip Islam dalam bisnis dan keuangan. Karena
jenuh dengan politik dan kebudayaan Barat, dan diilhami oleh kesalehan
relijius, sejumlah Muslim taat yang terus bertambah jumlahnya berusaha untuk
menyesuaikan kehidupa mereka di dunia modern dengan ajaran agamanya.
Berakhirnya kolonialisme dan munculnya trend keberagamaan telah merangsang
kebangkitan kembali keuangan Islam.
Demikian itu tadi artikel mengenai Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (SPEI). Semoga artikel ini bisa dijadikan sebagai referensi atau acuan untuk pembuatan Makalah.