D3 Perbankan Syariah: Materi Kuliah

Ads

Showing posts with label Materi Kuliah. Show all posts
Showing posts with label Materi Kuliah. Show all posts
Monday 25 November 2013

Contoh Makalah tentang Sejarah Bank Syariah di Dunia

Bagi anda yang sedang mencari tugas untuk sekolah atau kuliah anda, disinilah tempatnya. Karena disini selalu terdapat artikel yang admin update setiap harinya. Jadi, anda tidak perlu bingung untuk mencari tugas untuk kegiatan sekolah anda.

Kali ini admin akan meng-update artikel terbaru mengenai Contoh Makalah tentang Sejarah Bank Syariah di Dunia. Untuk informasi lebih lengkap dan lebih detail, yuk kita baca postingan di bawah ini.



BAB I
PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Di zaman Nabi SAW belum ada institusi bank, tetapi ajaran Islam sudah memberikan prinsip prinsip dan filosofi dasar yang harus dijadikan pedoman dalam aktifitas perdagangan dan perekonomian.Karena itu, dalam menghadapi masalah muamalah kontemporer yang harus dilakukan hanyalah mengidentifikasi prinsip-prinsip dan filosofi dasar ajaran Islam dalam bidang ekonomi, dan kemudian mengidentifkasi semua hal yang dilarang. Setelah kedua hal ini dilakukan,maka kita dapat melakukan inovasi dan kreativitas (ijtihad) seluas-luasnya untuk memecahkan segala persoalan muamalah kontemporer, termasuk persoalan perbankan.
Namun, sebelum “proses ijtihad” dalam persoalan perbankan ini kita lakukan, kita sebaiknya meneliti terlebih dahulu apakah persoalan perbankan ini benar-benar merupakan suatu persoalan yang baru bagi umat Islam atau bukan. Apakah konsep “bank” merupakan konsep yang asing dalam sejarah perekonomian umat Islam? Pertanyaan ini amat penting untuk dijawab karena akan menentukan langkah kitaselanjutnya. Bila konsep bank adalah konsep yang baru bagi umat Islam, maka kita harus memulai langkah ijtihad kita dari nol. Namun, bila konsep bank bukan konsep yang baru, artinya umat Islam sudah mengenal bahkan mempraktekkan fungsi-fungsi perbankan dalam kehidupan perekonomiannya, maka proses ijtihad yang harus kita lakukan tentunya akan menjadi lebihmudah. Bab ini akan memberikan jawaban atas pertanyaan di atas, dengan menelusuri secara singkat praktek-praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim sepanjang sejarah.

B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah merupakan hal-hal apa saja yang akan dikaji oleh peneliti. Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalahnya adalah sebagai berikut :
1)        Bagaimana Lahirnya Bank Syariah Dalam Sejarah Islam?
2)        Bagaimana Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Zaman Modern?
3)        Bagaimana Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia?

C.    TUJUAN
Tujuan dari dilakukannya penulisan makalah ini selain sebagai tugas Akutansi Bank Syariah I, pendidikan SI, Ekonomi Islam, jurusan Syariah juga sebagai berikut :
1)        Untuk Mengetahui Lahirnya Bank Syariah Dalam Sejarah Islam.
2)        Untuk Mengetahui Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Zaman Modern.
3)        Untuk Mengetahui Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

A.      Lahirnya Bank Syariah Dalam Sejarah Islam
Islam didalam suatu kota besar yang dianggap sebagai salah satu dari tempat yang heterogen dan yang paling rumit diwilayah Arab. Masyarakat telah tumbuh diluar pembatasan suku bangsa dan kaum untuk membangun kompleksitas dalam hal ekonomi dan politik. Selama itu kota besar menjadi makmur dengan bisnis di dalam pinjaman dengan jumlah beban biaya yang lebih besar.[1] Pada awalnya pembentukan bank islam banyak diragukan karena beberapa alasan. Pertama, banyak orang yang beranggapan bahwa sistem perbankan bebas bunga (interest free) adalah suatu yang tidak mungkin dan tidak lazim. Kedua, keraguan tentang bagaimana bank islam akan membiayai operasionalnya.[2] Meskipun begitu terdapat bebrapa bukti yang menunjukkan bahwa pengembangan dari sitem perbankan islam berjalan dan mulai ada dari zamanya nabi dan sahabat, bani umayyahdan bani abasiah, dan di masa eropa.[3]
1.    Di Zaman Nabi SAW dan Sahabat
Perbankan adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan memberikan jasa pengiriman uang. Didalam sejarah perekonomian kaum muslimin, pembiayaan yang dilakukan dengan akad yang sesuai syariah telah menjadi bagian dari tradisi umat Islam sejak jaman Rasulullah SAW. Praktek-praktek seperti menerima titipan harta, meninjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan untuk keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang, telah lazim dilakukan sejak zaman Rasulullah. Dengan demikian, fungsi-fungsi utama perbankan modern yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dan melakukan transfer dan setelah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan umat Islam, bahkan sejak zaman Rasulullah. Rasulullah SAW yang dikenal dengan julukan al-Amin, dipercaya olehmasyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayidina Alira untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya. Dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut. Seorang sahabat Rasulullah, Zubairbin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda; pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengambalikannya utuh. Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Jugatercatat Abdullahbin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang keadiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak. Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatny aperdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umarbin Khattab ra, beliau menggunakan cek untuk membayar tunjangan kepada merekayang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir. Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara’ah,
Musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar. Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di zaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada sahabat yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjamuang, ada yang melaksanakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.Fungsi-fungsi Bank sudah dipraktekkan oleh para sahabat dizaman Nabi SAW: Menerima Simpanan Uang, Memberikan Pembiayaan, dan Jasa Transfer Uang. Biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja.
Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanahilmufiqih, seperti istilah kredit yang diambil dari istilah qard. Credit dalam bahasa Inggris berarti meminjamkan uang, credo dalam bahasa romawi berarti kepercayaan, sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (Inggris:check; Perancis: cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasadigunakan di pasar.
2.    Di Zaman Bani Umayyahdan Bani Abasiah
Jelas saja institusi bank tidak dikenal dalam kosa kata fikih Islam, karena memang institusi ini tidak dikenal oleh masyarakat Islam di masa Rasulullah, Khulafaur Rasyidin, Bani Umayyah, maupun Bani Abbasiyah. Namun fungsi-fungsi perbankan yaitu menerima deposit, menyalurkan dana, dantransfer dana telah lazim dilakukan, tentunya dengan akad yang sesuai syariah. Di jaman Rasulullah saw fungsi-fungsi tersebut dilakukan oleh perorangan, dan biasanya satu orang hanya melakukan satu fungsi saja. Baru kemudian, di jaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Fungsi-fungsi perbankan yang dilakukan oleh satu individu, dalam sejarah Islam telah dikenal sejak zaman Abbasiyah. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan antara satu mata uang dengan mata uang lainnya. Ini diperlukan karena setiap mata uang mempunyai kandungan logam mulia yang berlainan sehingga mempunyai nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus ini disebut naqid, sarraf, dan jihbiz. Hal ini merupakan cikal-bakal praktek penukaran mata uang (money changer). Istilah jihbiz mulai dikenal sejak zaman Muawiyah (661-680M) yang sebenarnya dipinjam dari bahasa Persia, kahbad atau kihbud. Pada masa pemerintahan Sasanid, istilah ini dipergunakan untuk orang yang ditugaskan mengumpulkan pajak tanah.
Peranan banker pada zaman Abbasiyah mulai populer pada pemerintahan Muqtadir (908-932M). Saat itu, hampir setiap wazir mempunyai bankir sendiri. Misalnya, Ibnu Furat menunjuk Harun ibnu Imran dan Joseph ibnu wahab sebagai bankirnya. Lalu Ibnu Abi Isa menunjuk Ali ibn Isa, Hamid ibnuWahab menunjuk Ibrahim ibn Yuhana, bahkan Abdullah al-Baridi mempunyai tiga orang banker sekaligus: dua Yahudi dan satu Kristen. Kemajuan praktek perbankan pada zaman itu ditandai dengan beredarnya saq (cek) dengan luas sebagai media pembayaran. Bahkan, peranan bankir telah meliputi tiga aspek, yakni menerima deposit, menyalurkannya, dan mentransfer uang. Dalam hal yang terakhir ini, uang dapat ditransfer dari satu negeri ke negeri lainnya tanpa perlu memindahkan fisik uang tersebut. Para money changer yang telah mendirikan kantor-kantor di banyak negeri telah memulai penggunaan cek sebagai media transfer uang dan kegiatan pembayaran lainnya. Dalam sejarah perbankan Islam, adalah Sayf al-Dawlah al-Hamdani yang tercatat sebagai orang pertama yang menerbitkan cek untuk keperluan kliring antara Baghdad (Irak) dan Aleppo (Spanyol sekarang).
3.    Di Masa Eropa
Dalam perkembangan selanjutnya, kegiatan yang dilakukan oleh perorangan jihbiz kemudian dilakukan oleh institusi yang saat ini dikenal sebagai institusi bank. Ketika bangsa Eropa mulai menjalankan praktek perbankan, persoalan mulai timbul karena transaksi yang dilakukan menggunakan instrumen bunga yang dalam pandangan fikih adalah riba, dan oleh karenanya haram. Transaksi berbasis bunga ini semakin merebak ketika Raja Henry VIII pada tahun 1545, membolehkan bunga (interest) meskipun tetap mengharamkan riba (usury) dengan syarat bunganya tidak boleh berlipat ganda (excessive). Ketika Raja Henry VIII wafat, ia digantikan oleh Raja Edward VI yang membatalkan kebolehan bunga uang. Ini tidak berlangsunglama. Ketika wafat, ia digantikan oleh Ratu Elizabeth I yang kembali membolehkan bunga uang.
Selanjutnya, bangsa Eropa mulai bangkit dari keterbelakangannya dan mengalami renaissance. Penjelajahan dan penjajahan mulai dilakukan ke seluruh penjuru dunia, sehingga kegiatan perekonomian dunia mulai didominasi oleh bangsa-bangsa Eropa. Pada saat yang sama, peradaban muslim mengalami kemerosotan dan negara-negara muslim satu per satu jatuh ke dalam cengkeraman penjajahan bangsa-bangsa Eropa. Akibatnya, institusi-institusi perekonomian umat muslim runtuh dan digantikan oleh institusi ekonomi bangsa Eropa. Keadaan ini berlangsung terus sampai zaman modern kini. Karena itu, institusi perbankan yang ada sekarang di mayoritas negara-negara muslim merupakan warisandari bangsa Eropa, yang notabene berbasis bunga.[4]
B.       Sejarah Lahirnya Bank Syariah Di Zaman Modern
Pemikiran untuk mendirikan bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul dalam waktu yang cukup lama. Hal ini ditandai dengan munculnya pemukiran muslim yang menulis tentang perlunya dibangun bank islam dengan prinsip bagi hasil, antara lain Anwar Qureshi (1946), Naiem Siddiqi (1948) Dan Mahmud Ahmad (1952). Kemudian pada 1960-an Al-Maududi menulis secara perinci tentang perlunya dibangun bank islam untuk mengimbangi praktik-praktik bank konvensional yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip islam. Pemikiran beliau ini ditindak lanjuti oleh Muhammad Hamidullah dengan menulis beberapa buku berturut-turut pada 1994, 1995, 1957, dan 1962 yang kesemuanya itu dikategorikan sebagai penggagas awal tentang perbangkan islam.
Upaya awal penerapan sistem profil dan less sharing dalam bentuk bank syariah modern mencatat dipakistan Malaysia sekitar tahun 1940, yaitu adanya upaya pengelolaan dana jamaah haji secara non konvensional. Rintisan bank syariah lainya adalah berdirinya Mit Ghamr Local Saving Bank pada 1963 di Mesir yang dibangun oleh Dr. Ahmad El-Najar. Permodalan bank ini dibantu oleh Raja Faisal dari Arab Saudi. Bank ini beroperasi tanpa bunga dan sejalan dengan prinsip-prinsip ajaran agama islam ini sangat populer dan pada mulanya tumbuh dengan baik. Oleh karena itu ada persoalan politik dimesir bank ini ditutup dan diambil alih oleh National Bank Of Egypt Dan Central Bank Of Egypt yang dioperasikan berdasarkan prinsip ribawi. Pada 1972 sistem bank tanpa riba diperkenalkan lagi di Mesir dengan ditandai berdirinya Nasser Social Bank. Berdirinya bank ini lebih bersifat sosial daripada komersial.
Kesukaan Mit Ghamr mengelola bank dengan sistem bagi hasil, memberi inspirasi bagi umat islam diseluruh dunia untuk membentuk bank islam dengan sistem bagi hasil. Secara kolektif gagasan berdirinya bank syariah ditingkat internasional muncul dalam konferensi negara islam sedunia di Kuala Lumpur, Malaysia pada tanggal 21 s.d 27 april 1969 yang diikuti oleh 19 negara peserta. Salah satu keputusan dalam konferensi ini adalah perlu segera dibentuk sebuah bank syariah yang bersih dari sistem riba. Kemudian pada desember 1970 dalam pertemuan menteri luar negeri negara organisasi Konferensi Islam (OKI) di Karachi, Pakistan, delegasi mesir mengajukan sebuah proposal untuk mendirikan bank syariah. Proposal tentang berdirinya bank islam ini kemuian dikaji dengan seksama oleh para ahli dari delapan belas negara islam yang semuanya menyetujui dibentuk bank islam.
Selanjutnya pada sidang luar negeri negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Baghazi, Libia pada maret 1973 usulan tentang perlunya didirikan bank syariah diagendakan lagi. Sidang kemudian memutuskan agar OKI mempunyai bidang khusus yang menangani tentang hal-hal yang berhubungan dengan ekonomi dan keuangan. Bulan juli 1973 komite ahli yang mewakili negara islam penghasil minyak bertemu di Jeddah, Arab Saudi untuk membicarakan berdirinya bank syariah, sekaligus dibahas tentang anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Selanjutnya pada 1974 diadakan pertemuan menteri keuangan negara OKI di Jeddah dan dalam pertemuan ini disetujui rancangan pendirian bank pembangunan islam (Islamic Development Bank) dengan modal awal dua milyar dinar.
Setelah Islamic Development Bank (IDB) didirikan pada oktober 1975 yang beranggota 22 negara islam sebagai pendiri. Tujuan dibentuk bank ini adalah untuk membantu finansial dalam membangun negara anggotanya, usaha untuk mendirikan bank islam menyebar ke banyak negara. Beberapa negara islam seperti Pakistan, Sudan, dan Iran mengubah seluruh sistem keuangan yang ada di negara tersebut menjadi bebas bunga, sehingga semua lembaga keuangan di negara tersebut beroperasi berdampingan dengan bank-bank konvensional.
Sekarang, perbangkan syariah sudah mengalami perkembangan yang cukup pesat dan menyebar keseluruh dunia. Di Eropa tercatat The Islamic Bank Internasional Of Denmark tercatat sebagai bank syariah pertama yang beroperasi berdasarkan prinsip syariah, bank ini mulai beroperasi pada 1983 di Denmark. Sekarang bank-bank besar di negara-negara Eropa seperti City Bank, ANZ Bank, Chase Mahatam Bank, dan Jardine Fleming telah pula membuka Islamic Window agar dapat memberikan jasa-jasa perbangkan yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariat islam.[5]
C.      Perkembangan Bank Syariah Di Indonesia
Ide untuk mendirikan Bank yang menggunakan prinsip bagi hasil sudah muncul sejak 1970-an. Gagasan ini dibicarakan pada seminar nasional hubungan Indonesia dengan Timur Tengah pada 1974 dan dalam seminar internasional yang dilaksanakan oleh Lembaga Study Ilmu-Ilmu Kemasyarakatan (LSIK) dan Yayasan Bhinika Tunggal Ika pada 1976. Setelah diadakan penelitian yang mendalam, usaha untuk mendirikan bank syariah sedikit ada kendala, yaitu tidak ada payung hukum yang mengatur tentang bank yang operasionalnya yang memakai prinsip bagi hasil. Kalau tetap dioperasikan bank syariah itu, maka tidak sejalan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1967 tentang pokok-pokok perbangkan yang berlaku pada waktu itu. Selain hambatan ini lahirnya bank syariah ini dianggap sementara oleh pihak ada keterkaitan dengan faktor idiologi yang dianggapnya bagian dari konsep negara islam.
Pada 1998 gagasan mengenai bank syariah muncul lagi dengan gagasan ini muncul karena pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang berisi liberalisasidi Indonesia. Setelah adanya rekomendasi lokakarya ulama tentang bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor pada tanggal 19-22 Agustus  1990, hasil lokakarya tersebut dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang berlansung di Hotel Sahid Jaya, Jakarta pada 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas MUI ini ddibentulah kelompok kerja untuk mendirikan bank syariah di Indonesia. Hasil kerja dari kelompok ini adalah dibentuknya PT. Bank Muamalah Indonesia dengan ditanda tangani akta pendiriannya pada 1 November 1991 dengan total modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-. Dana ini berasal dari presiden dan wakil presiden, juga dari 10 Menteri Kabinet Pembangunan V, Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Yayasan Dakab, Yayasan Supersemar, Yayasan Dharmais, Yayasan Purna Bhakti Pratiwi, PT PAL, dan PT Pindad. Pada 1 Mei 1992 Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi.
Pada awal berdirinya, keberadaan PT Bank Muamalat Indonesian belum mendapatkan perhatian yang optimal dalam tataan industri perbankan nasional. Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, dimana perbankan bagi hasil diakomodasikan dan diakui keberadaannya, maka perkembangan bank syariah mulai menunjukkan prospeknya yang sangat bagus. Dalam menanggapi beberapa pasal yang tersebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992, pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 72 Tahun 1992 tentang bank berdasarkan prinsip bagi hasil pada 30 Oktober 1992, LNRI Nomor 119 Tahun 1992. Dalam peraturan pemerintah ini ditegaskan bahwa bank umum atau bank perkreditan rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil, tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prrinsip bagi hasil, demikian juga sebaliknya.
Oleh karena Bank Muamalat dan bank-bank perkreditan rakyat tidak menjangkau masyarakat islam lapisan bawah, maka dibentuklah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal Wattamwil (BMT). Kemudian bank muamalat juga mensponsori berdirinya Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada 1997, Bank Muamalat mensponsori lokakarya ulama tentang reksadana syariah oleh PT Danareksa Investment Management. Kemudian juga lahirnya pasar modal syariah, obligasi syariah membuat perkembangan lembaga keuangan syariah tumbuh dan berkembang cepat dengan hasil yang sangat mengenbirakan. Menurut riset yang dilakukan oleh Karim Business Consulting pada 2005 yang lalu menunjukkan bahwa total aset bank syariah di indonesia diperkirakan akan lebih besar daripada apa yang diperkirakan oleh bank indonesia. Total aset bank syariah diperkirakan akan mencapai antara 1,92% sampai 2,31% dari industri perbankan nasional. Pertumbuhan yang cukup signifikan ini disebabkan karena semakin baiknya kapasitas disisi regulasi serta perkembanganya pemikiran masyarakat tentang keberadaan bank syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan dalam bentuk surat keputusan direksi bank indonesia dan peraturan bank indonesia, telah memberikan landasan hukum yang kuat bagi pengembangan perbankan syariah di indonesia. Peraturan yang dikeluarkan oleh bank indonesia ini telah memberikan kesempatan untuk mengembangkan bank syariah dengan cara mempermudah memberi izin usaha dan mempermudah pembukuan kantor cabang serta diperkenankan bank umum bdapat menjalankan dua kegiatan usaha, baik secara konvensional maupun berdasarkan prinsip syariah.
Lahirnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan telah memberikan peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Dari peraturan perundang-undangan ini dapat diketahui bahwa tujuan dikembangkan bank syariah adalah untuk memenuhi kebutuhanjasa perbankan bagi masyarakat yang tidak menerima konsep bunga. Dengan dual banking system, mobilitas dana masyarakat dapat diserap secara luas, terutama daerah-daerah yang tidak bisa dijangkau oleh bank konvensional. Disamping itu, dengan dibukanya izin operasional bank syariah, maka membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan prinsip kemitraan, bukan hubungan formal antara debitur dan kreditur sebagaimana yang terdapat pada bank konvensional.
Selain tujuan dibentuknya bank syariah sebagaimana tersebut diatas, juga diharapkan melalui bank syariah dapat meningkatnya partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan industri perbankan, terutama dalam bidang ekonomi. Hal ini disebabkan karena masih banyak masyarakat yang masih enggan berhubungan dengan bank, sebab bank dianggap mempraktikan riba dalam transaksi yang dilakukannya, padahal riba itu haram hukumnya dalam syariat islam. Diharapkan, dengan lahirnya bank syariah ini, masyarakat islam yang tadinya enggan berhubungan dengan bank, akan merasa terpanggil untuk berhubungan dengan bank syariah, ikhtiar ini akan sekaligus mendidik dan membimbing masyarakat untuk berpikir secara ekonomis, berperilaku bisnis dalam meningkatkan kualtas hidupnya.[6]


BAB III
PENUTUP

Setelah kita menelusuri secara singkat sejarah praktek perbankan yang dilakukan oleh umat muslim, maka kita dapat mengambil kesimpulan bahwa meskipun kosa kata fikih Islam tidak mengenal kata “Bank”, namun sesungguhnya bukti-bukti sejarah menyatakan bahwa fungsi-fungsi perbankan modern telah dipraktekkan oleh umat muslim, bahkan sejak zaman nabi Muhammad saw.
Praktek-praktek fungsi perbankan ini tentunya berkembangsecara berangsur-angsur dan mengalami kemajuan dan kemunduran di masa-masa tertentu, seiring dengan naik-turunnya peradaban umat muslim. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep bank bukanlah suatu konsep yang asing bagi umat muslim, sehingga proses ijtihad untuk merumuskan konsep bank modern yang sesuai dengan syariah tidak perlu dimulai dari nol. Jadi, upaya ijtihad yang dilakukan insya Allah akan menjadi lebih mudah.


DAFTAR PUSTAKA


  • Rivai Veithzal & Arifin Arvian, Islamic Banking, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2010.
  • Manan Abdul, Hukum Ekonomi Syriah, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2012.
  • Yasin Nur, Hukum Ekonomi Islm, UIN Malang Press, Malang, 2009.
  • http://www.scribd.com/doc/33989425/Makalah-Sejarah-Perbankan-Syariah.



[1] Veithzal Rivai & Arvian Arifin, Islamic Banking, PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2010 hal 132.
[2] Nur Yasin, Hukum Ekonomi Islm, UIN Malang Press, Malang, 2009, hal 131.
[3] Veithzal Rivai & Arvian Arifin,Op.Cit, hal 132.
[4] Http://www.scribd.com/doc/33989425/Makalah-Sejarah-Perbankan-Syariah.
[5] Abdul Manan, Hukum Ekonomi Syriah, Kharisma Putra Utama, Jakarta, 2012, hal 204.
[6] Abdul Manan, ibid,  hal 206.


Demikianlah itu tadi artikel mengenai Contoh Makalah tentang Sejarah Bank Syariah di Dunia. Mudah-mudahan artikel tersebut dapat bermanfaat dan berguna untuk menyelesaikan tugas anda.

Contoh Makalah tentang Bank Syariah

Anda sedang mencari Contok Makalah atau Contoh Karya Ilmiah ? Disinilah tempatnya, banyak sekali artikel mengenai Contoh Makalah atau Contoh Karya Ilmiah yang selalu admin update setiap harinya. Untuk kesempatan kali ini, admin akan memberikan posting artikel mengenai Contoh Makalah tentang Bank Syariah.

Untuk info selanjutnya, dapat di baca selengkapnya di bawah ini :



BAB I
PENDAHULUAN

A.                LATAR BELAKANG
Melakukan kegiatan ekonomi adalah merupakan tabiat manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Dengan kegiatan itu ia memperoleh rizki, dan dengan rizki ia dapat melangsungkan kehidupannya. Bagi orang Islam, Al Qur’an adalah petunjuk untuk memenuhi kebutuhn hidupnya yang berkebenaran absolute. Sunnah Rasulullah Muhammad SAW berfungsi menjelaskan kandungan Al Qur’an.[1] Terdapat banyak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi yang merangsang manusia untuk rajin bekerja dan mencela orang menjadi pemalas. Tetapi tidak setiap kegiatan ekonomi dibenarkan oleh Al Qur’an. Apabila kegiatan itu punya watak yang merugikan banyak orang dan menguntungkan sebagian kecil orang pasti akan ditolak seperti halnya riba.
Al Qur’an telah jelas melarang riba[2]. Selain itu juga agama –agama lainpun melarangnya, bukan hanya etika agama yang mengutuknya, tetapi juga etika filosofis, seperti filsafat yunani. Dengan demikian, disamping diketahui bahwa al Qur’an tidak sendirian dalam menampilkn sikap kerasnya terhadap riba.
Salah satu lembaga perekonomian yang sampai saat ini menggunakan system riba ialah bank. Menurut catatan sejarah, usia perbankan sudah dikenal kurang lebih 2500 SM dalam masyarakat Mesir Purba dan Yunani Kuno, kemudian masyarakat Romawi.[3] Istilah perbankan dalam masyarakat modern pada umumnya disebut dengan bank konvesional. Bank konvensional melaksanakan pembagian keuntungan dengan system bunga (persentase) tetap. Bank tidak mau melihat, apakah wiraswastawan peminjam mendapat kerugian atau laba. Hal ini membuat sekelompok orang islam untuk mendirikan bank islam dengan ciri tanpa bunga yang disebut dengan bank syari’ah, seperti apakah bank syari’ah? Berikut akan diulas dalam makalah ini.
B.                 RUMUSAN MASALAH
Dari uraian diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, adapun rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah:
1.                  Apa yang dimaksud dengan bank syari’ah?
2.                  Bagaimana filosofi operasional bank syari’ah?
3.                  Apa saja prinsip-prinsip bank syari’ah?
4.                  Apa saja dasar hukum bank syari’ah di Indonesia?
5.                  Apa saja produk-produk Bank Syari’ah?
6.                  Bagaimana pandangan para ulama’ mengenai bank syari’ah?

C.                TUJUAN
Dari rumusan masalah diatas dapat dirumuskan beberapa tujuan pembahasan. Adapun tujuannya yakni sebagai berikut:
1.                  Mengetahui pengertian bank syari’ah
2.                  Mengetahui falsafah operasional bank syari’ah
3.                  Mengetahui prinsip-prinsip bank syari’ah
4.                  Mengetahui dasar hukum bank syari’ah di Indonesia
5.                  Mengetahui produk-produk bank syari’ah
6.                  Mengetahui berbagai macam pandangan ulama’ mengenai bank syari’ah


BAB II
PEMBAHASAN

A.                PENGERTIAN BANK SYARI’AH
Bank syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan operasionalissinya pada bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga, adalah lembaga keuangan/perbangkan yang operasional dan produknya dikembangkan berlandaskan pada Al Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syari’at Islam.
Antonio dan perwataadmadja membedakannya menjadi dua pengertian, yaitu Bank Islam dan Bank yang beroperasi dengan prinsip syariat Islam.[4] Bank Syari’ah adalah
1)        Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari’at Islam
2)        Bank yang tata cara beroperasinya mengacu pada ketentuan-ketentun Al qur’an dan Hadits
Sementara Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip syari’ah Islam adalah Bank yang dalam operasinya itu mengikuti ketentuan-ketentuan syari’at Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalah  secara Islam. Dikatakan lebih lanjut, dalam tata cara bermuamalah itu harus dijahui oleh hal-hal dan praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsure riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasil dan pembiayaan perdagangan.[5]
B.                 FALSAFAH OPERASIONAL BANK SYARI’AH
Setiap lembaga keuangan syari’ah mempunyai falsafah mencari keridhoan Allah SWT untuk memperoleh kebajikan di dunia dan akhirat . Oleh karena itu , setiap kegiatan lembaga keuangan yang di khawatirkan menyimpang dari tuntutan agama , harus di hindari.[6]
a.    Menjauhkan diri dari unsur riba, caranya:
1)        Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka secara pasti keberhasilan suatu usaha (QS. Luqman, ayat: 34)
2)        Menghindari penggunaan system prosentasi untuk pembebanan biyayaa terhadap hutang atau pemberian imbalan terhdap simpanan yang mengandung unsure meliputi gandakan secara otomatis hutang/simpanan tersebut hanya karena berjalannya waktu (QS. Al Imron: 130)
3)        Menghindari penggunaan system perdagangan atau penyewaan barang ribawi dengan imbalan barang ribawi lainnya dengan memperoleh kelebihan baik kuantitas maupun kualitas (HR. Muslim Bab Riba No.1551 s.d 1567)
4)        Menghindari penggunaan system yang menetapkan di muka tambahan atas hutang yang bukan atas prakarsa yang mempunyai hutang secara sukarela (HR. Muslim, Bab Riba No.1569 s.d 1572)
b.        Menetapkan system bagi hasil dan perdagangan, dengan mengacu pada Al Qur’an surat Al Baqqrah ayat 275 dan An Nisa’ ayat 29, maka setiap transaksi kelembagaan syari’ah harus dilandasi atas dasar system bagi hasil dan perdagangan atau transaksinya didasari oleh adanya pertukaran antara uang dengan barang. Akibatnya pada kegiatan mu’amalah berlaku prinsip ada barang/jasa uang dengan barang, sehingga akan mendorong produksi barang/jasa, mendorong kelancaran arus barang/jasa, dapat dihindari adanya penyalahgunaan kredit, spekulasi dan inflasi.[7]
C.                PRINSIP-PRINSIP BANK SYARI’AH
Prinsip syari’ah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syari’ah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syari’ah antara lain
Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.  diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.
Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya.[8]
D.                DASAR HUKUM BANK SYARI’AH DI INDONESIA
Bank syari’ah di tanah air mendapatkan pijakan yang kokoh setelah adanya deregulasi sector perbankan pada tahun 1983. Kemudian posisi perbankan syari’ah semakin pasti setelah disahkan UU Perbankan Indonesia No.7 tahun 1992, dimana bank diberikan kebebasan untuk menentukan jenis imbalan yang akan diambil dari nasabahnya baik bunga ataupun keuntungan-keuntungan bagi hasil.
Dengan terbitnya PP No. 72 tahun 1992 tentang bank bagi hasil yang secara tegas memberikan batasan bahwa “bank bagi hasil tidak boleh melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (bunga) sebaliknya pula bank yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil tidak diperkenankan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” (pasal 6), maka jalan bagi operasional perbankan syari’ah semakin luas.kini titik kulminasi telah tercapai dengan disahkannya UU No.10 Thn 1998 tentang perbankan yang membuka kesempatan bagi siapa saja yang akan mendirikan bank syari’ah maupun yang ingin mengkonfersi dari system konvensional menjadi system syari’ah
UU No.10 ini sekaligus menghapus pasal 6 pada PP No 72/1992 yang melarang dual `         system.  Dengan tegas pasal 6 UU No10/1998 membolehkan bank umum yang melakukan kegiatan usaha dengan berdasarkan prinsip syari’ah.[9] .Selain itu dasar perbankan syari’ah juga terdapat dalam UU Perbankan No 10 thn 1998 ( pasal 1 ayat 12,13; pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c) yang merupakan UU Perbankan No 7 Tahun 1992.
Untuk menjalankan undang-undang tersebut selanjutnya dikeluarkan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tentang Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat tahun 1999 dilengkapi bank umum berdasarkan  prinsip syari’ah dan bank perkreditan rakyat berdasarkan prinsip syariah. Aturan yang berkaitan dengan Bank Umum berdasarkan prinsip syari’ah diatur dalam Surat Keputusan direksi bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.[10]
E.                 PRODUK -PRODUK BANK SYARI’AH
Pada dasarnya, produk yang ditawarkan perbankan syariah dapat dibagi menjadi tiga bagian besar yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.
1)                  Produk Penyaluran Dana
Dalam menyalurkan dana kepada nasabah, secara garis besar produk pembiayaan syariah terbagi kedalam tiga kategori yang dibedakan berdasarkan tujuan penggunaan yaitu:
Ø  Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk memiliki barang yang dilakukan dengan prinsip jual beli.
Ø  Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa.
Ø  Transaksi pembiyaan untuk usaha kerja sama yang dituju guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.
Pada kategori pertama dan kedua, tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang atau jasa yang dijual. Produk yang termasuk dalam kelompok ini adalah produk yang menggunakan prinsip jual beli seperti murabahah, salam dan istishna serta produk yang menggunakan prinsip sewa atau ijarah. Sedangkan kategori ketiga, tingkat keuntungan bank ditentukan dari besarnya usaha sesuai dengan prinsip bagi hasil. Pada produk bagi hasil keuntungan ditentukan oleh nisbah bagi hasil yang disepakati dimuka. Produk perbankan yang termasuk kedalam kelompok ini adalah musyarakah dan mudhrabah.
Ø    Prinsip jual beli (Ba’i)
Prinsip jual beli diadakan sehubung diadanya perpindahan kepemilikan barang atau benda (transfer of property). Tingkat keuntungan bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Transaksi jual beli dibedakan berdasarkan bentuk pembayarannya dan waktu penyerahan barang seperti :
a)   Pembiayaan Murabahah
Murabahah adalah transaksi jual beli, dimana bank mendapat sejumlah keuntungan. Dalam hal ini, bank menjadi penjual dan nasabah menjadi pembeli. Kedua pihak harus menyepakati harga jual dan jangka waktu pembayaran. Harga jual dicantumkan dalam akad jual beli dan jika telah disepakati tidak dapat berubah selama berlakunya akad.
b)   Salam
Salam adalah transaksi jual beli, dimana barangnya belum ada, sehingga
barang yang menjadi objek transaksi tersebut diserahkan secara tangguh.
Dalam transaksi ini, bank menjadi pembeli dan nasabah menjadi penjual.
c)    Istishna
Alur trankasksi Istishna mirip dengan Salam, hanya saja dalam Istishna, Bank dapat membayar harga pembelian dalam beberapa kali termin pembayaran. Skim istishna dalam bank syariah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.
Ø    Prinsip Sewa (Ijarah)
Secara prinsip, Ijarah sama dengan transaksi jual beli. Hanya saja yang menjadi objek dalam transaksi ini adalah dalam bentuk manfaat. Pada akhir masa sewa dapat saja diperjanjian bahwa barang yang diambil manfaatnya selama masa sewa akan dijual belikan antra Bank dan nasabah yang menyewa (Ijarah muntahhiyah bittamlik/sewa yang diikuti dengan berpindahnya kepemilikan)
Ø    Prinsip Bagi Hasil (Syirkah)
Produk pembiayaan syariah yang didasarkan dengan prinsip bagi hasil adalah :
a)    Musyarakah
Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil. Dalam kerjasama ini para pihak secara bersama-sama memadukan sumber daya baik yang berwujud ataupun tidak berwujud untuk menjadi modal proyek kerjasama, dan secara bersama-sama pula mengelola proyek kerjasama tersebut.
b)   Mudarabah
Dalam mengaplikasikan prinsip mudharabah, penyimpan atau deposan bertindak sebagai pemilik modal, dan bank sebagai mudharib (pengelola). Dana tersebut digunakan Bank untuk melakukan pembiayaan murabahah atau ijarah seperti yang dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana tersebut digunakan oleh bank untuk melakukan pembiayaan mudharabah. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang disepakati.
Ø    Akad Pelengkap
Untuk memudahkan pelaksanan pembiyaan, biasanya diperlukan juga akad pelengkap. Akad pelengkap ini tidak ditujukan untuk mencari keuntungan, namun ditujukan untuk mempermudah pelaksanaan pembiyaan. Meskipu tidak ditujukan mencari keuntungan, dalam akad pelengkap ini dibolehkan untuk meminta pengganti biaya biaya yang dikeluarkan untuk melaksanakan akad ini. Besarnya biaya pengganti ini sekedar untuk menutupi biaya yang benar benar timbul.
a)   Hiwalah (Alih Utang Piutang)
Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan syariah, fasilitas hiwalah lazimnya untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya, sedangkan bank mendapat ganti biaya atas jasa.
b)   Rahn
Rahn, dalam bahasa umum lebih dikenal dengan Gadai. Tujuan akad Rahn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
c)    Qardh
Qardh adalah pinjaman uang. Misalnya dalam hal seorang calon haji membutuhkan dana pinjaman talangan untuk memenuhi syarat penyetoran biaya perjalanan haji. Bank memberikan pinjaman kepada nasabah calon haji tersebut dan si nasabah melunasinya sebelum keberangkatan Hajinya.
d)   Wakalah
Wakalah dalam praktek Perbankan syariah terjadi apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti pembukuan L/C, inkaso dan transfer uang.
e)    Kafalah
Kafalah dalam bahasa umum lebih dikenal dengan istilah Bank Garansi, yang ditujukan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mensyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai Rahn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. Bank mendapatkan pengganti biaya atas jasa yang diberikan.
2)                  Produk Penghimpunan Dana
Produk penghimpunan dana dibank syariah dapat berupa giro, tabungan, dan deposito. Prinsip operasional syariah yang diterapkan dalam penghimpunan dana masyarakat adalah wadi’ah dan mudharabah.
a)    Wadi’ah
Prinsip Wadi’ah yang diterapkan dalam Perbankan syariah adalah Wadiah Yad Dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Dalam konsep Wadi’ah Yad Dhamanah, Bank dapat mempergunakan dana yang dititipkan, akan tetapi bank bertanggung jawab penuh atas keutuhan dari dana yang dititipkan.
b)   Mudharabah
·           Mudarabah Mutlaqah
Mudarabah Mutlaqah adalah Mudarabah yang tidak disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal.
·           Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet
Mudarabah Muqayadah on Balance Sheet adalah Aqad Mudarabah yang disertai dengan pembatasan penggunaan dana dari Sahibul Mal untuk investsi-investasi tertentu.
·           Mudarabah of Balance Sheet
Dalam Mudarabah of Balance Sheet, Bank bertindak sebagai arranger, yang mempertemukan nasabah pemilih modal dan nasabah yang akan menjadi mudharib.
c)    Wakalah
Wakalah dalam praktek perbankan syariah dilakukan apabila nasabah memberikan kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti inkaso dan transfer uang.
3)                  Produk Jasa
Bank syariah dapat melakukan berbagai pelayanan jasa perbankan kepada nasabah dengan mendapat imbalan berupa sewa atau keuntungan. Jasa perbankan tersebut antara lain berupa :
a)   Sharf (jual beli valuta asing)
Pada prinsipnya jual beli valuta asing sejalan dengan prinsip Sharf, sepanjang dilakukan pada waktu yang sama (spot). Bank mengambil keuntungan dari jual beli valuta asing ini.
b)   Ijarah (Sewa)
Jenis kegiatan Ijarah antara lain penyewaan kotak simpanan (safe deposit box) dan jasa tata-laksana administrasi dokumen (custodian). Bank mendapat imbalan sewa dari jasa tersebut.[11]

F.                 PANDANGAN ULAMA’ MENGENAI BANK SYARI’AH
1)                  Majlis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah
Majlis Tarjih Muhammadiyah pada tahun 1968 memutuskan bahwa bunga bank milik pemerintah termasuk masalah shubhat dan bahkan pada tahun 2006 memutuskan fatwa haram. Adapun masalah keputusan Tarjih sebagai berikut;
1.    Hasil keputusan hukum harus ditaati namun keputusan masalah sosial ekonomi, Majlis Tarjih harus melibatkan pada para ekonom supaya hasilnya bisa membumi dan fatwa haramnya bunga bank tidak perlu ditanfidh.
2.     Bank dibutuhkan dalam dunia perekonomian, berfungsi sebagai intermediary tetapi tidak setuju dengan sistem bunga karena riba dan menimbulkan eksploitasi. Sedangkan adanya bank syari’ah sangat ditunggu umat Islam untuk menghindari bunga.
3.    Masih dibolehkannya menjadi nasabah bank konvensional selama bank syari’ah belum benar-benar siap dan dengan dasar keterpaksaan/dharurat.[12]
2)                  Nahdlatul Ulama’
Dalam musyawarah nasional alim ulama NU pada 1992 di Lampung, para ulama NU tidak memutus hukum bunga bank haram mutlak. Memang ada beberapa ulama yang mengharamkan, tetapi ada juga yang membolehkan karena alasan darurat dan alasan-alasan lain. Namun demikian, dalam Munas saat itu, ulama NU sudah merekomendasikan kepada negara agar segera memfasilitasi terbentuknya perbankan syariah atau perbankan yang menggunakan asas-asas dan dasar hukum Islami dalam bertransaksi.

3)                  Majlis Ulama’ Indonesia
MUI mengharamkan bunga bank sejak th 2003, Menurut Kiai Ma'ruf, agar masyarakat terhindar dari hukum haram bunga bank, sementara tetap bisa menyimpan uangnya dengan aman, bank syariah bisa menjadi solusinya. Sebab, hukum keharaman bunga bank itu tidak sekedar adanya timbal-balik dari simpanan kita, tetapi juga dana yang kita simpan di bank yang juga digunakan untuk upaya riba. "Dulu, sebelum ada bank syariah, kita menyimpan dana di bank karena alasan darurat. Kalau hukumnya ya tetap saja sama, bunga bank itu ya haram. Kalau sekarang, setelah ada bank syariah, harus dipindahkan ke bank syariah, bank tanpa bunga," terangnya[13]


BAB III
PENUTUP

A.    KESIMPULAN
1)      Bank Syari’ah merupakan implementasi dari Bank Islam dengan ciri tanpa bunga/riba
2)      Bank Syari’ah sebenarnya sama dengan Bank Konvensional pada umumnya, yang membedakannya kalau Bank Syari’ah memakai system bagi hasil sedangkan bank Konvensional memakaisistem bunga.
3)      Dasar hukum Bank syari’ah di Indonesia:
ü  UU Perbankan Indonesia No.7 tahun 1992
ü  Pasal 6 PP No. 72 tahun 1992 yang kemudian dihapus oleh pasal 6 UU No.10 Thn 1998
ü  UU Perbankan No 10 thn 1998 ( pasal 1 ayat 12,13; pasal 6 huruf m dan pasal 13 huruf c)
ü  Surat Keputusan direksi bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tgl. 12 Mei 1999.
4)      Produk yang ditawarkan perbankan syariah banyak sekali, secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu produk penyaluran dana, produk penghimpunan dana dan produk jasa.
5)      MUI dan Muhammadiyah mengharamkan adanya bunga bank karena hal ini sama dengan riba sedangkan NU masih khilafiyah, ada sebagian yang membolehkan dengan alasan dharurat ada juga yang mengharamkannya, akan tetapi semuanya mendukung adanya bank syari’ah sebagai lembaga perekonomian yang berdasarkan syari’at Islam (tidak ada unsur riba di dalamnya)
B.     SARAN
“Setelah kita semua mengetahui apa itu bank syari’ah, bagaimana system, prinsip dan falsafah operasional bank syari’ah, diharapkan agar kita lebih memilih menggunakan jasa bank syari’ah dan alangkah baiknya yang sudah menggunakan bank konvensional pindah ke bank syari’ah”


DAFTAR PUSTAKA

Al Khotib, Muhammad ‘Ajaj. 1989. Ushul Al Hadits Wa Musthalahu. Beirut: Dar al Fikri
Al Zuhaili, Wahbah. 1985. Al Fiqih Al Islami wa Adillatuh. Beirut: Dar Al Fikri
American Institute of banking. 1960. Principle of Bank Operation. New York: AIB
Muhammad. 2005. Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta
Sadeli, Hasan. (ed). Ensiklopedia Indonesia
Zuhri, Muh, Dr. 1996. Riba dalam al- Qur’an dan Masalah Perbankan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/04/05/4722
Http://Hasanismilr.blogspot.com/2009/06/produk-produk-bank-syari’ah
Http://eprints.sunan-ampel.ac.id/id/eprint/54
Http://ekiszone.co.cc/category/perbankan-islam



[1] Muhammad ‘Ajjaj al-Khatib, Ushul al Hadits wa Musthalahu (Bairut: Dar al Fikri,1989), hlm. 46-50
[2] Riba dalam Ilmu Fiqih ada dua macam: 1). Riba yang disebabkan oleh jual beli, disebut riba fadl dan 2). Riba yang disebabkan oleh pinjam meminjam atau hutang piutang disebut riba nasi’ah. Riba yang dibicarakan dalam Al Qur’an adalah riba nasi’ah
[3]Hasan Sadeli, Ed.,Ensiklopedi Indonesia, jilid I hlm. 393. prasasti-prasasti babylonia yang ditemukan member petunjuk bahwa kegiatan perbankan sudah dilakukan di sana pad abad ke 20 SM. Lihat American Institute of Banking, Principle of Bank Operation, (New York: AIB, 1960), hlm.2
[4] Karnaen Perwataatmadja dan M. Syafi’I Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam. Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf. 1997. Hlm.1
[5] ibid
[6] Muhammad, Lembaga Keuangan umat kontemporer. Yogyakarta: UII Press, 2000, hlm.63
[7] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta, 2005, hlm16
[8] http://ekiszone.co.cc/category/perbankan-islam
[9] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syari’ah….,Op.Cit.,hlm.19
[10] Ibid, hlm. 21
[11] Http://Hasanismilr.blogspot.com/2009/06/produk-produk-bank-syari’ah
[12]Http://eprints.sunan-ampel.ac.id/id/eprint/54
[13] www.voa-islam.com/news/indonesia/2010/04/05/4722


Demikianlah informasi artikel mengenai Contoh Makalah tentang Bank Syariah. Semoga Contoh Makalah atau Karya Ilmiah tersebut dapat bermanfaat bagi anda semuanya. Jangan lupa selalu kunjungi blog ini, karena masih banyak Contoh Makalah atau Contoh Karya Ilmiah lainnya. Untuk selengkapnya klik disini.
Perbankan Syariah STAIN Metro Contoh Makalah, Karya Ilmiah, Materi Kuliah

Contoh Makalah tentang Mudhorobah dan Murabahah - Perbankan Syariah

Sudah lama admin Perbankan Syariah tidak memposting artikel dikarenakan terlalu banyak kesibukan. Namun mulai sekarang dan kedepannya admin akn selalu memposting dan memberikan artikel terupdate seperti Contoh Makalah, Informasi mengenai Lowongan Kerja, Informasi mengenai Beasiswa, PSAK Syariah, dan lain-lainnya.

Untuk kesempatan kali ini, admin akan memposting artikel mengenai Contoh Makalah Mudhorobah dan Murobahah. Selanjutnya lebih lengkap mengenai artikel tersebut silahkan baca di bawah ini :



BAB I
PENDAHULUAN

Perbankan syariah atau Perbankan Islam adalah suatu sistem perbankan yang dikembangkan berdasarkan syariah (hukum) islam. Usaha pembentukan sistem ini didasari oleh larangan dalam agama islam untuk memungut maupun meminjam dengan bunga atau yang disebut dengan riba serta larangan investasi untuk usaha-usaha yang dikategorikan haram (misal: usaha yang berkaitan dengan produksi makanan/minuman haram, usaha media yang tidak islami dll), dimana hal ini tidak dapat dijamin oleh sistem perbankan konvensional.
Prinsip Perbankan Syariah
Prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang sesuai dengan syariah.
Beberapa prinsip/ hukum yang dianut oleh sistem perbankan syariah antara lain
 Pembayaran terhadap pinjaman dengan nilai yang berbeda dari nilai pinjaman dengan nilai ditentukan sebelumnya tidak diperbolehkan.
 Pemberi dana harus turut berbagi keuntungan dan kerugian sebagai akibat hasil usaha institusi yang meminjam dana.
 Islam tidak memperbolehkan "menghasilkan uang dari uang". Uang hanya merupakan media pertukaran dan bukan komoditas karena tidak memiliki nilai intrinsik.
 Unsur Gharar (ketidakpastian, spekulasi) tidak diperkenankan. Kedua belah pihak harus mengetahui dengan baik hasil yang akan mereka peroleh dari sebuah transaksi.
 Investasi hanya boleh diberikan pada usaha-usaha yang tidak diharamkan dalam islam. Usaha minuman keras misalnya tidak boleh didanai oleh perbankan syariah.


BAB II
PRODUK PERBANKAN SYARIAH

Beberapa produk jasa yang disediakan oleh bank berbasis syariah antara lain:
I. Jasa untuk peminjam dana
 Mudhorobah, adalah perjanjian antara penyedia modal dengan pengusaha. Setiap keuntungan yang diraih akan dibagi menurut rasio tertentu yang disepakati. Resiko kerugian ditanggung penuh oleh pihak Bank kecuali kerugian yang diakibatkan oleh kesalahan pengelolaan, kelalaian dan penyimpangan pihak nasabah seperti penyelewengan, kecurangan dan penyalahgunaan.
 Musyarokah (Joint Venture), konsep ini diterapkan pada model partnership atau joint venture. Keuntungan yang diraih akan dibagi dalam rasio yang disepakati sementara kerugian akan dibagi berdasarkan rasio ekuitas yang dimiliki masing-masing pihak. Perbedaan mendasar dengan mudharabah ialah dalam konsep ini ada campur tangan pengelolaan manajemennya sedangkan mudharabah tidak ada campur tangan
 Murobahah , yakni penyaluran dana dalam bentuk jual beli. Bank akan membelikan barang yang dibutuhkan pengguna jasa kemudian menjualnya kembali ke pengguna jasa dengan harga yang dinaikkan sesuai margin keuntungan yang ditetapkan bank, dan pengguna jasa dapat mengangsur barang tersebut. Besarnya angsuran flat sesuai akad diawal dan besarnya angsuran=harga pokok ditambah margin yang disepakati. Contoh:harga rumah, 500 juta, margin bank/keuntungan bank 100 jt, maka yang dibayar nasabah peminjam ialah 600 juta dan diangsur selama waktu yang disepakati diawal antara Bank dan Nasabah. (asuransi islam)


II. Jasa untuk penyimpan dana
 Wadi'ah (jasa penitipan), adalah jasa penitipan dana dimana penitip dapat mengambil dana tersebut sewaktu-waktu. Dengan sistem wadiah Bank tidak berkewajiban, namun diperbolehkan, untuk memberikan bonus kepada nasabah. Bank Muamalat Indonesia-Shahibul Maal.
 Deposito Mudhorobah, nasabah menyimpan dana di Bank dalam kurun waktu yang tertentu. Keuntungan dari investasi terhadap dana nasabah yang dilakukan bank akan dibagikan antara bank dan nasabah dengan nisbah bagi hasil tertentu.


BAB III
PEMBAHASAN

I. Mudharabah

Secara bahasa mudharabah berasal dari akar kata dharaba – yadhribu – dharban yang bermakna memukul. Dengan penambahan alif pada dho’, maka kata ini memiliki konotasi “saling memukul” yang berarti mengandung subjek lebih dari satu orang. Para fukoha memandang mudharabah dari akar kata ini dengan merujuk kepada pemakaiannya dalam al-Qur’an yang selalu disambung dengan kata depan “fi” kemudian dihubungkan dengan “al-ardh” yang memiliki pengertian berjalan di muka bumi.
Mudharabah merupakan bahasa yang biasa dipakai oleh penduduk Irak sedangkan penduduk Hijaz lebih suka menggunakan kata “qirodh” untuk merujuk pola perniagaan yang sama. Mereka menamakan qiradh yang berarti memotong karena si pemilik modal memotong dari sebagian hartanya untuk diniagakan dan memberikan sebagian dari labanya.
Mudharabah juga dinamakan dengan muqaradhah yang berarti sama-sama memiliki hak untuk mendapatkan laba karena si pemilik modal memberikan modalnya sementara pengusaha meniagakannya dan keduanya sama-sama berbagi keuntungan. Dalam istilah fikih muamalah, mudharabah adalah suatu bentuk perniagaan di mana si pemilik modal menyetorkan modalnya kepada pengusaha/pengelola, untuk diniagakan dengan keuntungan akan dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan dari kedua belah pihak sedangkan kerugian, jika ada, akan ditanggung oleh si pemilik modal.
Para ulama sepakat bahwa landasan syariah mudharabah dapat ditemukan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’ dan qiyas. Menurut para ulama, Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.1

عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ 
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)

“Maka apabila shalat (jum’at) telah ditunaikan, maka bertebaranlah di muka bumi dan carilah keutamaan Allah dan ingatlah allah banyak-banyak, sup[aya kamu beruntung” (Q.S al-Jum’ah : 10)

Dipandang secara umum, kandungan ayat di atas mencakup usaha mudharabah karena mudharabah dilaksanakan dengan berjalan-jalan di muka bumi dan ia merupakan salah satu bentuk mencari keutamaan Allah.
Menurut Madzhab Hanafi rukun mudharabah itu ada dua yaitu Ijab dan Qobul.
Sedangkan menurut Jumhur Ulama rukun mudharabah ada tiga macam yaitu
 Adanya pemilik modal dan mudhorib,
 Adanya modal, kerja dan keuntungan,
 Adanya shighot yaitu Ijab dan Qobul.
Secara umum mudharabah dapat dibagi menjadi dua macam yaitu
1. Mudharabah muthlaqoh 
Dimana pemilik modal (shahibul maal) memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola (mudharib) untuk mempergunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Namun pengelola tetap bertanggung jawab untuk melakukan pengelolaan sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf).


2. Mudharabah muqoyyadah
Dimana pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya.

SYARAT DAN RUKUN MUDHAROBAH
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram. Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.
2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’ atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih.
2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.
3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.2
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib (pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya.3
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah. Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang. Seandainya dikatakan: ’separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.
2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.
3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat. Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal. Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.” 
2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor). Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).” Beliaupun merajihkan pendapat ini.
3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.
4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat. Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.” 4
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.
D. Pelafalan perjanjian.
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. Transaksi Mudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.
Syarat Dalam Mudharabah 
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalam Al Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
• Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
• Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
• Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
II. Murabahah

Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.Pembayaran atas akad jual beli dapat dilakukan secara tunai maupun kredit. Hal yang membedakan murabahah dengan jual beli lainnya adalah penjual harus memberitahukan kepada pembeli harga barang pokok yang dijualnya serta jumlah keuntungan yang diperoleh.
Penjualan dapat dilakukan secara tunai atau kredit , jika secara kredit harus dipisahkan antara keuntungan dan harga perolehan .Keuntungan tidak boleh berubah sepanjang akad , kalau terjadi kesulitan bayar dapat dilakukan restrukturisasi dan kalau kesulitan bayar karma lalai dapat dikenakan denda. Denda tersebut akan dianggap sebagai dana kebajikan . Uang muka juga dapat diterima , tetapi harus dianggap sebagai pengurang piutang. 

A. JENIS MURABAHAH

1. Murabahah Berdasarkan Pesanan (Murabahah to the purcase order)
Murabahah ini dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat. Mengikat bahwa apabila telah memesan barang harus dibeli sedangkan tidak mengikat bahwa walaupun telah memesan barang tetapi pembeli tersebut tidak terikat maka pembeli dapat menerima atau membatalkan barang tersebut .

2. Murabahah Tanpa Pesanan
Murabahah ini termasuk jenis murabahah yang bersifat tidak mengikat. Murabahah ini dilakukan tidak melihat ada yang pesan atau tidak sehingga penyediaan barang dilakukan sendiri oleh penjual.

B. RUKUN DAN SYARAT MURABAHAH
A. Pengertian Rukun Murabahah
Rukun adalah suatu elemen yang tidak dapat dipisahkan dari suatu kegiatan atau lembaga, sehingga bila tidak ada salah satu elemen tersebut maka kegiatan terdebut dinyatakan tidak sah atau lembaga tersebut tidak eksis. 
Menurut Jumhur Ulama ada 4 rukun dalam murabahah, yaitu Orang yang menjual(Ba'I'),orang yang membeli(Musytari), Sighat dan barang atau sesuatu yang diakadkan. 


B. Syarat Murabahah
1. Pihak yang berakad,yaitu Ba'i' dan Musytari harus cakap hukum atau balik (dewasa), dan mereka saling meridhai (rela)
2. Khusus untuk Mabi' persyaratanya adalah harus jelas dari segi sifat jumlah, jenis yang akan ditransaksikan dan juga tidak termasuk dalam kategori barang haram.
3. Harga dan keuntungan harus disebutkan begitu pula system pembayarannya, semuanya ini dinyatakan didepan sebelum akad resmi (ijab qabul) dinyatakan tertulis. 

C. DASAR HUKUM MURABAHAH

Dalam islam,perdagangan dan perniagaan selalu dihubungkan dengan nilai-nilai moral,sehingga semua transaksi bisnis yang bertentangan dengan kebajikan tidaklah bersifat islami. 

• Al-Qur'an

"Hai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil (tidak benar), kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka rela diantaramu, dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah maha penyayang kepadamu." (QS.An-Nisa’ : 29)

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS.2:275)

• Al-Hadist
Dari Abu Sa'id Al-Khudri , bahwa Rasullulah Saw bersabda: "Sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka".(HR.al-Baihaqi,Ibnu Majah dan Shahi menurut Ibnu Hibban)

D. KETENTUAN UMUM MURABAHAH

1. Jual beli murabahah harus dilakukan atas barang yang telah dimiliki atau hak kepemilikan telah berada ditangan penjual.
2. Adanya kejelasan informasi mengenai besarnya modal (harga pembeli) dan biaya-biaya lain yang lazim dikeluarkan dalam jual beli..
3 .Ada informasi yang jelas tentang hubungan baik nominal maupun presentase sehingga diketahui oleh pembeli sebagai salah satu syarat sah murabahah
4. Dalam sistem murabahah, penjual boleh menetapkan syarat kepada pembeli untuk menjamin kerusakan yang tidak tampak pada barang, tetapi lebih baik syarat seperti itu tidak ditetapkan.
5. Transaksi pertama (anatara penjual dan pembeli pertama) haruslah sah, jika tidak sah maka tidak boleh jual beli secara murabahah (anatara pembeli pertama yang menjadi penjual kedua dengan pembeli murabahah.

E. APLIKASI MURABAHAH DI LKS (lembaga keuangan syariah)

A. PENGERTIAN 

Dalam daftar istilah himpunan fatwa DSN (dewan syariah nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.
Murabahah merupakan bagian terpenting dari jual beli dan prinsip akad ini mendominasi pendapatan bank dari produk-produk yang ada di semua bank islam. Dalam islam, jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama umat manusia yang diridhai oleh Allah SWT.

"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba" (QS. Al-baqarah :275). 

B. Rukun dan Syarat
Rukun murabahah dalam perbankan adalah sama dengan fiqih dan hanya dianalogikan dalam pratek perbankannya.
Mengenai syarat yang diminta oleh bank adalah sesuai dengan kebijakan bank syariah yang bersangkutan.umumnya persyaratan tersebut menyangkut tentang barang yang diperjual belikan, harga dan ijab qobul (akad). Rasulallah SAW. Bersabda: "kaum muslimin boleh melangsungkan sesuatu berdasarkan ketentuan yang mereka tetapkan". (HR. Abu daud & Hakim)

C. HARGA DAN KEUNTUNGAN

 Bank menjual harga barang sesuai harga pokok yang dibeli dari pemasok ditambah dengan keuntungannya yang disepakati bersama.
 Selama akad belum berakhir, maka harga jual beli tidak boleh berubah.
 Sistem pembayaran dan jangka waktunya yang disepakati bersama.


BAB IV
KESIMPULAN

Prinsip perbankan syariah pada akhirnya akan membawa kemaslahatan bagi umat karena menjanjikan keseimbangan sistem ekonominya. Hal yang sangat disayangkan karena kurangnya pengetahuan tentang prinsip tersebut sehingga masih banyak masyarakat yang kurang percaya dan kurang merasa mudah menggunakan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam prinsip-prinsip Bank Syari'ah. Didalam perbankan syari'ah telah diatur berbagai macam transaksi yang tidak merugikan bagi kedua pihak. Karena jika sampai ada yang dirugikan dan dirugikan maka sudah melanggar ajaran Islam itu sendiri. Prinsip perbankan syari'ah itu sendiri bersumber dari Al-Qur'an dan Hadits.



Demikianlah artikel mengenai Contoh Makalah tentang Modhorobah dan Murobahah yang dapat admin berikan. Semoga artikel tersebut dapat bermanfaat dan dapat membantu menyelesaikan tugas kuliahnya.
Perbankan Syariah STAIN Metro Karya Ilmiah, Materi Kuliah, Perbankan Syariah
Saturday 13 April 2013

Zakat Profesi menurut Fatwa Ulama Kontemporer


  1. Pendahuluan
Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji. (QS. al-Baqarah[2]: 267).
Arti ayat di atas menjelaskan bahwa sebagian dari hasil usaha (harta) yang kita peroleh melalui pekerjaan-pekerjaan kita wajib kita nafkahkan (keluarkan zakatnya). Harta yang kita miliki, pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Allah-lah yang kemudian melimpahkan amanah kepada para pemilik harta, agar dari harta itu dikeluarkan zakatnya. Dengan demikian, harta dalam pandangan Islam adalah amanah Allah SWT. Di sinilah sikap amanah harus dipupuk, sebab seorang muslim dituntut menyampaikan amanah kepada ahlinya. Di dalam khazanah hukum Islam barang-barang yang wajib dikeluarkan zakatnya terbagi dua. Yaitu yang sudah terdapat kesepakatan ‘ulama ( ijma’) dan yang masih diperselisihkan (ikhtilaf).  Yang pertama adalah barang-barang yang dijelaskan secara eksplisit di dalam teks hadits, seperti zakat pertanian, peternakan, emas dan perak, perdagangan dan harta temuan ( rikaz). Barang-barang itu sudah dijelaskan secara rinci, baik mengenai kadar nishab-nya maupun kadar zakatnya.   Sedangkan yang kedua adalah yang tidak dijelaskan secara eksplisit di dalam teks, yang merupakan perkembangan masyarakat, seperti zakat profesi dan jenis-jenis usaha baru yang menjanjikan[2]. Bagian yang kedua ini adalah merupakan wilayah ijtihad, sehingga wajar jika terjadi perbedaan di antara ‘ulama. Untuk bagian yang kedua ini pada umumnya ‘ulama mengambil dalil keumuman petunjuk Surat al-Baqarah (2): 267 sebagaimana disebutkan diatas. Makalah ini akan mencermati bentuk yang kedua, yaitu barang yang masih diperselisihkan oleh ‘ulama mengenai kewajiban zakatnya, khususnya zakat profesi.
Sebagai salah satu rukun Islam, zakat mempunyai kedudukan yang sangat agung. Di samping sebagai bentuk ibadah kepada Allah, zakat merupakan sarana pemerataan ekonomi umat Islam, pengikat kasih sayang antara orang kaya dan fakir miskin, dan juga membantu terciptanya kemaslahatan umat Islam. Hal ini tercermin dalam aturan – aturan zakat dan pengalokasiannya. Sudah sepatutnya bagi setiap muslim untuk mengetahui dan memahami permasalahan zakat. Sebab, masih ada sebagian umat Islam yang kurang memahami tentang hukum zakat dan permasalahan yang terkait dengannya. Hal ini tentu akan berpengaruh dalam praktek dan pelaksanaannya. Potensi zakat di Indonesia, berdasarkan hasil survey PIRAC (Public Interest Research and Advocacy Center)  mengatakan potensi dana zakat di Indonesia, yang populasinya sekitar 87 persen muslim, sangat besar hingga mencapai 9,09 triliun rupiah pada 2007. Potensi ini meningkat 4,64 triliun dibanding tahun 2004 yang potensinya hanya sebesar 4,45 triliun. Berbeda dengan PIRAC, Alfath mengatakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai Rp 20 triliun per tahun. Namun dari jumlah itu, yang tergali baru Rp 500 miliar per tahun (berdasarkan asumsi tahun 2006).
Sementara itu, untuk menumbuhkan dan menggalakkan kesadaran zakat di Indonesia, telah banyak terbit Peraturan Daerah (PERDA) Zakat di beberapa daerah Provinsi/Kabupaten/Kota. Tentunya hal ini adalah salah satu  upaya mengoptimalkan pemungutan serta pendayagunaan zakat. Keberadaan Undang-undang No. 38 Thn 1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No. 32 Thn 2004 tentang Otonomi daerah cukup menyulutkan kehadiran PERDA ini di beberapa daerah. Menurut Institut Manajemen zakat (IMZ)  sedikitnya ada 24 daerah yang telah memiliki PERDA Zakat[3].  Kita bisa menyebut contoh , seperti di Lombok Timur, Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, Tangerang, dan Cilegon. Hal ini merupakan keberhasilan yang  harus diapresiasi mengingat kesadaran berzakat di Indonesia masih sangat rendah.

  1. Pengertian  Zakat  Profesi
Zakat profesi dikenal dengan istilah zakah rawatib al-muwazhaffin (zakat gaji pegawai) atau zakah kasb al-‘amal wa al-mihan al-hurrah (zakat hasil pekerjaan dan profesi swasta)[4]. Zakat profesi didefinisikan sebagai zakat yang dikenakan pada tiap pekerjaan atau keahlian profesional tertentu, baik yang dilakukan sendiri maupun bersama orang atau lembaga lain, yang mendatangkan penghasilan (uang) yang memenuhi nishab.[5]
Zakat profesi merupakan perkembangan kontemporer, yaitu disebabkan adanya profesi-profesi modern yang sangat mudah menghasilkan uang. Misalnya profesi dokter, konsultan, advokat, dosen, arsitek, dan sebagainya. Kenyataan membuktikan bahwa pada akhir-akhir ini banyak orang yang karena profesinya, dalam waktu yang relatif singkat, dapat menghasilkan uang yang begitu banyak. Kalau persoalan ini dikaitkan dengan pelaksanaan zakat yang berjalan di masyarakat maka terlihat adanya kesenjangan atau ketidakadilan antara petani yang memiliki penghasilan kecil dan mencurahkan tenaga yang banyak dengan para profesional misalnya dokter, akuntan, konsultan,  notaris, dan insinyur yang hanya dalam waktu relatif pendek memiliki hasil yang cukup besar tanpa harus mencurahkan tenaga yang banyak. Adapun pekerjaan atau keahlian profesional tersebut bisa dalam bentuk usaha fisik, seperti pegawai atau buruh, usaha pikiran dan ketrampilan seperti konsultan, insinyur, notaris dan dokter, usaha kedudukan seperti komisi dan tunjangan jabatan, dan usaha lain seperti investasi. Hasil usaha profesi juga bisa bervariasi, misalnya hasil yang teratur dan pasti setiap bulan, minggu atau hari seperti upah pekerja dan pegawai atau  hasil yang tidak tetap dan tidak dapat diperkirakan secara pasti, seperti kontraktor dan royalti pengarang.
C.       Pendapat ’Ulama tentang  Zakat Profesi
Ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum zakat penghasilan atau profesi. Mayoritas ulama madzhab empat tidak mewajibkan zakat penghasilan pada saat menerima kecuali sudah mencapainishab dan sudah sampai setahun (haul), namun para ulama mutaakhirin seperti  Yusuf Al Qaradhawi dan Wahbah Az-Zuhaili, menegaskan bahwa zakat penghasilan itu hukumnya wajib pada saat memperolehnya, meskipun belum mencapai satu tahun[6]. Hal ini mengacu pada pendapat sebagian sahabat yaitu Ibnu Abbas, Ibnu Mas’ud dan Mu’awiyah, Tabiin  Az-Zuhri, Al-Hasan Al-Bashri, dan Makhul juga pendapat Umar bin Abdul Aziz dan beberapa ulama fiqh lainnya[7]. Adapun kewajiban zakatnya adalah 2,5%, berdasarkan keumuman nas yang mewajibkan zakat uang, baik sudah mencapai satu haul atau  ketika menerimanya. Jika sudah dikeluarkan zakatnya pada saat menerimanya, maka ia tidak wajib mengeluarkan zakat lagi pada akhir tahun. [8] Dengan demikian ada kesamaan antara pegawai yang menerima gaji secara rutin dengan petani yang wajib mengeluarkan zakat pada saat panen, tanpa ada perhitungan haul.  Menurut al-Qaradhawi nishab zakat profesi senilai 85 gram emas dan jumlah zakat yang wajib dikeluarkan adalah 2,5%.  Landasan fikih (at-takyif al-fiqhi) zakat profesi ini menurut Al-Qaradhawi adalah perbuatan sahabat yang mengeluarkan zakat untuk al-maal al-mustafaad (harta perolehan). Al-maal al-mustafaad adalah setiap harta baru yang diperoleh seorang muslim melalui salah satu cara kepemilikan yang disyariatkan, seperti waris, hibah, upah pekerjaan, dan yang semisalnya. Al-Qaradhawi mengambil pendapat sebagian sahabat (seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud) dan sebagian tabi’in (seperti Az-Zuhri, Hasan Bashri, dan Makhul) yang mengeluarkan zakat dari al-maal al-mustafaad pada saat menerimanya, tanpa mensyaratkan haul (dimiliki selama satu tahun qamariyah). Bahkan al-Qaradhawi melemahkan hadis yang mewajibkan haul bagi harta zakat, yaitu hadis Ali bin Abi Thalib RA, bahwa Nabi SAW bersabda”Tidak ada zakat pada harta hingga berlalu atasnya haul.” (HR Abu Dawud).[9]
D.      Cara Mengeluarkan Zakat Profesi
Jika kita mengikuti pendapat ulama yang mewajibkan zakat penghasilan, lalu bagaimana cara mengeluarkannya? Dikeluarkan penghasilan kotor  (bruto) atau penghasilan bersih (neto)? Ada tiga wacana tentang bruto atau neto seperti berikut ini.
Dalam buku Fiqh Zakat karya DR Yusuf Qaradlawi. bab zakat profesi dan penghasilan,  dijelaskan tentang cara mengeluarkan zakat penghasilan. Kalau kita klasifikasi ada tiga wacana:
1. Pengeluaran bruto, yaitu mengeluarkan zakat penghasilan kotor. Artinya, zakat penghasilan yang mencapai nisab 85 gr emas dalam jumlah setahun, dikeluarkan 2,5 % langsung ketika menerima sebelum dikurangi apapun. Jadi kalau dapat gaji atau honor dan penghasilan lainnya dalam sebulan mencapai 2 juta rupiah x 12 bulan = 24 juta, berarti dikeluarkan langsung 2,5 dari 2 juta tiap bulan = 50 ribu atau dibayar di akhir tahun = 600 ribu.
Hal ini juga berdasarkan pendapat Az-Zuhri dan ‘Auza’i, beliau menjelaskan: “Bila seorang memperoleh penghasilan dan ingin membelanjakannya sebelum bulan wajib zakat datang, maka hendaknya ia segera mengeluarkan zakat itu terlebih dahulu dari membelanjakannya” (Ibnu Abi Syaibah, Al-mushannif, 4/30). Dan juga menqiyaskan dengan  beberapa harta zakat yang langsung dikeluarkan tanpa dikurangi apapun, seperti zakat ternak, emas perak, ma’dzan dan rikaz.
2. Dipotong oprasional kerja, yaitu setelah menerima penghasilan gaji atau honor yang mencapai nisab, maka dipotong dahulu dengan biaya oprasional kerja. Contohnya, seorang yang mendapat gaji 2 juta  rupiah sebulan, dikurangi biaya transport dan konsumsi harian di tempat kerja sebanyak 500 ribu, sisanya 1.500.000. maka zakatnya dikeluarkan 2,5 dari 1.500.000= 37.500,-
Hal ini dianalogikan dengan zakat hasil bumi dan kurma serta sejenisnya. Bahwa biaya dikeluarkan lebih dahulu baru zakat dikeluarkan dari sisanya. Itu adalah pendapat Imam Atho’ dan lain-lain. Dari zakat hasil bumi ada perbedaan prosentase zakat antara yang diairi dengan hujan yaitu 10%  dan melalui irigasi 5%.
3. Pengeluaran neto atau zakat bersih, yaitu mengeluarkan zakat dari harta yang masih mencapai nisab setelah dikurangi untuk kebutuhan pokok sehari-hari, baik pangan, papan, hutang dan kebutuhan pokok lainnya untuk keperluan dirinya, keluarga dan yang menjadi tanggungannya. Jika penghasilan setelah dikurangi kebutuhan pokok masih mencapai nisab, maka wajib zakat, akan tetapi kalau tidak mencapai nisab tidak wajib zakat, karena dia bukan termasuk muzakki (orang yang wajib zakat) bahkan menjadi mustahiq (orang yang berhak menerima zakat) karena sudah menjadi miskin dengan tidak cukupnya penghasilan terhadap kebutuhan pokok sehari-hari.
Hal ini berdasarkan hadits riwayat imam Al-Bukhari dari Hakim bin Hizam bahwa Rasulullah SAW bersabda: “…. dan paling baiknya zakat itu dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan…”.[10]
Kesimpulan, seorang yang mendapatkan penghasilan halal dan mencapai nishab (85 gr emas) wajib mengeluarkan zakat 2,5 %, boleh dikeluarkan setiap bulan atau di akhir tahun. Sebaiknya zakat dikeluarkan dari penghasilan kotor sebelum dikurangi kebutuhan yang lain. Ini lebih afdlal (utama) karena khawatir ada harta yang wajib zakat tapi tidak dizakati, tentu akan mendapatkan adzab Allah baik di dunia dan di akhirat. Juga penjelasan Ibnu Rusd bahwa zakat itu ta’bbudi (pengabdian kepada Allah SWT) bukan hanya sekedar hak mustahiq.[11] Tapi ada juga sebagian pendapat ulama membolehkan sebelum dikeluarkan zakat dikurangi dahulu biaya oprasional kerja atau kebutuhan pokok sehari-hari.
  1. E.     Pendapat Lembaga ‘Ulama Indonesia tentang Zakat Profesi
Di Indonesia, ada beberapa lembaga keulamaan yang mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk mengeluarkan fatwa tentang persoalan kontemporer yang dihadapi umat Islam, diantaranya yang pernah mengemuka adalah tentang zakat profesi.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui fatwa No.3 Tahun 2003, menegaskan bahwa semua bentuk penghasilan halal wajib dikeluarkan zakatnya dengan syarat telah mencapai nishab dalam satu tahun, yakni senilai emas 85 gram. Dalam fatwa ini yang dimaksud   dengan “penghasilan” adalah  adalah setiap pendapatan seperti gaji, honorarium, upah, jasa, dan lain-lain yang diperoleh dengan cara halal, baik rutin seperti pejabat negara, pegawai atau karyawan, maupub tidak rutin seperti dokter, pengacara, konsultan, dan sejenisnya, serta pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan bebas lainnya. Adapun dasar hukum yang dijadikan alasan menetapkan hukum tersebut adalah:
$yg??r’¯»t? tûïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä (#qà)ÏÿRr& `ÏB ÏM»t6Íh?sÛ $tB óOçFö;|¡?2 !$£JÏBur $oYô_t÷zr& Nä3s9 z`ÏiB ÇÚö?F{$# (
Hai orang yang beriman! Nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu … (QS. al-Baqarah[2]: 267).
 ?tRqè=t«ó¡o?ur #s?$tB tbqà)ÏÿZã? È@è% uqøÿyèø9$# 3 ?Ï9ºx?x. ßûÎiüt7ã? ª!$# ãNä3s9 ÏM»t?Fy$# öNà6¯=yès9 tbr㍩3xÿtFs? Dan mereka bertanya kepada apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan, Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir” (QS. al-Baqarah [2]: 219).
õ?è{ ô`ÏB öNÏlÎ;ºuqøBr& Zps%y?|¹ öNèdãÎdgsÜè? NÍk?Ïj.t?è?ur $pkÍ5 Èe@|¹ur öNÎgø?n=tæ ( ¨bÎ) y7s?4qn=|¹ Ö`s3y? öNçl°; 3 ª!$#ur ìì?ÏJy? íO?Î=tæ ÇÊÉÌÈ
Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka… (QS. al-Taubah [9]:103).
Hadits-hadits Nabi SAW antara lain:
??? ?????? ?? ???? ??? ??? ?? ????? ??? ???? ???? ???? ???? ??? ???: ?? ? ??? ?? ??? ??? ???? ???? ?????
Diriwayatkan secara marfu’ hadits ibn Umar, dari Nabi Saw, beliau bersabda: “Tidak ada zakat pada harta sampai berputar satu tahun.”
?? ??? ????? ?? ???? ???? ??? ???? ???? ???? ??? ??? ??? ?????? ?? ???? ??? ???? ???? (???? ????) ???? ??????, ??? ??????: ??? ?????? ??? ?? ?? ????? ?????? ?? ???? ????.
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah Saw. bersabda: ‘Tidak ada zakat atas orang muslim terhadap hamba sahaya dan kudanya’. (HR. Muslim). Imam Nawawi berkata: “Hadis ini adalah dalil bahwa harta qinayah (harta yang digunakan untuk keperluan pemakaian, bukan untuk dikembangkan) tidak dikenakan zakat.
?? ???? ?? ???? ??? ???? ??? ?? ????? ??? ???? ???? ???? ???? ??? ??? ???? ?????? ??? ?? ??? ??? ??? ?????? ???? ???? ??? ????? ???? ????
Dari Hakim bin Hizam r.a., dari Nabi Saw beliau bersabda: “Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu. Sedekah paling baik adalah yang dikeluarkan dari kelebihan kebutuhan. Barangsiapa berusaha menjaga diri (dari keburukan), Allah akan menjaganya. Barangsiapa berusaha mecukupi diri, Allah akan memberinya kecukupan (HR. Bukhari).
?? ??? ????? ??? ??? ??????  ??? ???? ???? ???? ???? ???? ?????? ?? ??? ??? ????? ?????? ??? ?? ???? ?????? ????? ??? ????
Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah s.a.w. bersabda: ‘Sedekah hanyalah dikeluarkan dari kelebihan/ kebutuhan.Tangan atas lebih baik daripada tangan bawah. Mulailah (dalam membelanjakan harta) dengan orang yang menjadi tanggung jawabmu”(HR. Ahmad).
Sedangkan Dewan Syariah PKS dengan dalil dan argumen  sebagaimana disebutkan di dalam Fatwa Dewan Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera Nomor 03/F/K/DS-PKS/1427 sebagai berikut :
  1. Perintah untuk mengeluarkan infaq dari kasab yang dikaruniakan oleh Allah kepada manusia sebagaimana  Allah berfirman  QS. Al Baqarah : 267:
2.    Peringatan Allah terhadap orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah. Allah berfirman : “…dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, Maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih” (QS. At Taubah : 34).
3. Hadits tentang orang yang wajib dipungut zakatnya: “Rasulullah saw bersabda kepada Mu’adz bin Jabal ketika diutus ke Yaman : Sesungguhnya kamu akan mendatangi kaum Ahli Kitab. Jika kamu datang kepada mereka, maka ajaklah  mereka untuk mengucapkan syahadatain. Jika mereka taat kepadamu, sampaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu sehari semalam. Jika mereka menuruti perintahmu, maka samapaikan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan ke atas mereka zakat yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan dikembalikan kepada orang-orang fakir di kalangan mereka. Jika mereka menuruti perintahmu, maka hati-hatilah kamu dari harta mereka yang berharga, dan hindarkanlah doa dari orang yang terdzalimi, karena tidak ada hijab antara dia dengan Allah”. (HR Bukhari)
3.     Prinsip keadilan dalam Islam. Sungguh dirasakan tidak adil dan bertentangan dengan prinsip keadilan Islam bila petani dan pedagang kecil yang penghasilannya kecil diwajibkan membayar zakat, sementara seorang eksekutif, konsultan, dan profesional lain yang gajinya dapat mencapai puluhan juta tidak diwajibkan membayar zakat.
Berdasarkan dalil-dalil diatas disimpulkan bahwa :
1.  zakat profesi hukumnya wajib berdasarkan  keumuman ayat 267 surat al Baqarah.
2.  zakat profesi memiliki kemiripan dengan zakat pertanian dari aspek waktu penerimaan gaji dan dengan naqdain (emas dan perak) dari aspek harta yang diterima.
3.  Nishab zakat pertanian adalah 5 wasaq yaitu setara dengan 652, 8 kg beras atau senilai Rp 3.265.000 (dengan standar harga beras Rp.5000/kg).
4. Nishab naqdain adalah 20 dinar setara dengan 85 gr atau senilai Rp 17.000.000 (dengan standar harga emas Rp 200.000/gr)
5.  Untuk menentukan  nishob dan miqdar zakat profesi ditetapkan berdasarkan qiyas. f. terdapat pilihan qiyas di antara 3 (tiga) jenis qiyas, yaitu: qiyas íllah, qiyas dilalah dan qiyas syabah.
6.  Qiyas íllah tidak dapat diterapkan karena íllah zakat  profesi tidak dinyatakan dengan nash.
7. Memilih qiyas dilalah relatif lebih mudah dipahami dibanding dengan qiyas syabah tetapi qiyas syabah pun diakui sebagai rujukan dalam istinbath di kalangan ulama ada yang menggunakan qiyas sabah..
Menurut Majelis Tarjih  Muhammadiyah zakat profesi adalah wajib. Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman ayat 267 surat al-Baqarah Kata  ???????? ????? ????? ??????           dalam surat al-Baqarah ayat 267 di atas merupakan bentuk kata perintah ( amr), sehingga kata tersebut berfaedah wajib. Selanjutnya kata ?? ????? mengandung hukum kully yang mencakup semua hasil usaha manusia termasuk profesi di dalamnya. Sedangkan menurut Dewan Hisbah Persis hukum zakat profesi adalah tidak wajib dan hanya memutuskan bahwa harta yang tidak terkena kewajiban zakat termasuk hasil profesi,  dikenai kewajiban  infaq yang besarannya tergantung kebutuhan Islam terhadap harta tersebut. Pimpinan jam’iyyah bisa menetapkan besarnya infaq.
Semoga dengan zakat, harta menjadi bersih, berkemabang, berkah, bermanfaat dan meneyelamatkan pemiliknya dari siksa Allah SWT. Amiin ya mujibas sa`ilin.



[1] Dr. Hj. Tutik Hamidah, M.Ag adalah dosen Fakultas Syariah UIN Maliki, saat ini dipercaya menjadi dekan.
[2] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.
[4] Yusuf Al-Qaradhawi, Fiqh az-Zakah, I/497; Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865; Ali as-Salus, Mausu’ah al-Qadhaya al-Fiqhiyah al-Mu’ashirah, hal. 522; Al-Yazid Ar-Radhi,Zakah Rawatib Al-Muwazhaffin, hal. 17.
[5] Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, hal. 103; Zakat dalam Perekonomian Modern, hal. 95.
[6] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, II/865,
[7]  Wahbah az-Zuhaili,  Al-fiqh Al-Islami wa ‘Adillatuh, 2/866.
[8] Ibid.
[9] Yusuf Al-Qaradhawi, ibid., I/491-502; Wahbah az-Zuhaili, ibid., II/866.

[10]  Yusuf Al-Qaradlawi. Fiqh Zakat, 486, Didin Hafidhuddin, Panduan Praktis Tentang Zakat, Infaq, Sedekah, 104
[11] Ibn Rusyd. Bidâyat al-Mujtaahid, jilid 1 (t.t. Mustafa babi halabi, 1379 H- 1960 M ), 252-253.
Perbankan Syariah STAIN Metro Fiqih Zakat, Materi Kuliah, Semester III

Klik Like yaaa..?