Di era tahun 1990-an sempat beredar isu
ada satu bank swasta nasional yang diberitakan mengalami kalah kliring
besar. Dan kondisi panik pun menerpa masyarakat khususnya mereka yang
memiliki dana di bank tersebut. Untunglah ada tulisan di sebuah media
massa nasional yang menegaskan bahwa kalah kliring dalam aktifitas
perbankan itu sesuatu yang biasa. Bisa saja di satu hari sebuah bank
mengalami kalah kliring besar, tapi keesokan harinya justru mengalami
kondisi sebaliknya. Kepanikan nasabahpun mereda. Lalu apa yang dimaksud
dengan kalah kliring ?
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut,
arti kliring adalah pertukaran warkat (bisa berupa cek, giro/bilyet,
nota debet/kredit dan lainnya) atau data keuangan elektronik antar
peserta (bank) kliring baik atas nama peserta (bank) maupun atas nama
nasabah peserta yang perhitungannya diselesaikan pada waktu tertentu.
Jadi, jika ada peserta (bank) kliring yang mengalami kalah kliring itu
artinya bank tersebut mendapat banyak kewajiban pembayaran ke sejumlah
peserta (bank) kliring lainnya yang tak sebanding dengan hak (tagihan)
pembayaran pada satu hari kerja kliring.
BI sebagaimana diamanatkan UU No.23 Tahun
1999 tentang BI yang telah diubah dengan UU No.3 Tahun 2004,
mendapatkan tugas mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran
(Pasal 8 butir b). UU ini juga memberi mandat ke BI untuk
menyelenggarakan sistem kliring antarbank dalam mata uang rupiah dan
valuta asing (pasal 16). Posisi BI adalah selaku penyelenggara sistem
kliring. BI juga bisa menunjuk pihak lain selaku pelaksana kliring
antarbank jika di daerah itu tidak ada kantor Bank Indonesia. Misalnya,
BI menunjuk sebuah bank di kota Magelang sebagai pelaksana kliring di
wilayah tersebut.
Lalu mengapa BI menyelenggararakan sistem
kliring antar bank? Jawabnya untuk mempermudah cara pembayaran dalam
rangka memperlancar transaksi perekonomian dengan perantaraan perbankan
sebagai peserta kliring dan BI sebagai penyelenggara kliring. Dengan
adanya kliring antarbank diharapkan pemakaian alat-alat lalu lintas
pembayaran giral (cek, bilyet giro, nota debet, nota kredit dan lainnya)
akan meningkat. Dari sini diharapkan akan terjadi lonjakan pula
simpanan dana masyarakat di bank yang nantinya dapat dipakai untuk
membiayai sektor-sektor produktif di masyarakat.
Sistem kliring yang dilaksanakan BI saat
ini sudah dapat berlangsung secara nasional melalui Sistem Kliring
Nasional BI (SKNBI). Maksudnya, proses kliring baik kliring debet maupun
kliring kredit yang penyelesaian akhirnya dilakukan secara nasional.
Selain itu ada tiga sistem kliring lain yang lazim dikenal, yakni Sistem
manual, Sistem Semi Otomasi, dan Sistem Otomasi. Kliring manual adalah
penyelenggaraan kliring lokal yang dalam perhitungan, pembuatan bilyet
saldo kliring serta pemilihan warkat dilakukan secara manual oleh setiap
peserta kliring. Perhitungan kliring didasarkan pada warkat yang
dikliringkan oleh peserta kliring.
Sedangkan sistem semi otomasi adalah
kliring lokal yang perhitungan dan pembuatan bilyet saldo kliring
dilakukan secara otomasi melalui alat bantu komputer. Namun pemilihan
warkat tetap dilakukan secara manual oleh bank peserta kliring.
Sementara sistem kliring lokal yang dalam perhitungan dan pembuatan
bilyet saldo kliring dan pemilahan warkat dilakukan secara otomatis
dengan bantuan komputer.
Dalam proses kliring terkadang ada warkat
(bilyet giro atau cek) yang dikeluarkan seorang nasabah bank (penarik)
ditolak oleh bank (tertarik) karena sejumlah sebab. Alasan yang kerap
muncul adalah karena di rekening si penarik tak cukup dana untuk
melakukan proses kliring. Jika si penarik tadi mengeluarkan kembali
bilyet giro atau cek yang tak disertai dana yang cukup akan dikenakan
sanksi masuk daftar hitam. Konsekuensi seseorang masuk dalam daftar
hitam, ia tak bisa membuka rekening giro di bank manapun di satu wilayah
untuk kurun waktu tertentu.
Download lengkap file pdf : sistemkliringbankindonesia1
Perbankan Syariah STAIN Metro
Perbankan Syariah,
Produk Bank Syariah